Senin, 03 Oktober 2016

MASALAH FIKIH: HUKUM BEJANA (2)


HUKUM BEJANA YANG DITAMBAL ATAU DISAMBUNG DENGAN EMAS DAN PERAK

>Tambalan dari emas hukumnya haram baik sedikit atau banyak, baik untuk hajat apalagi untuk zinah (menghiasi bejana).
CATATAN:
Penggunaan emas diharamkan kecuali karena darurat maka hukumnya boleh berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa ‘Arfajah bin As’ad hidungnya terkena tebasan pedang pada perang Al-Kulab maka diapun membuat hidung (palsu) dari perak lalu membusuk kemudian Nabi pun memerintahkannya untuk membuat hidung palsu dari emas. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai). Berdasarkan hadits ini Ulama` Syafi’iyyah sepakat diperbolehkan membuat hidung, gigi dan kuku dari emas dan perak serta mengikat gigi yang sakit dengan emas atau perak. Dan menurut yang paling masyhur tidak boleh membuat tangan dan jari darinya.

>Jika tambalannya dari perak maka hukumnya diperinci sebagai berikut:
   -Tidak makruh jika sedikit untuk hajat (kebutuhan) seperti menambal bejana, berdasarkan hadits Anas bahwa wadah minum Nabi pecah atau terbelah maka Anas pun menyambungnya atau menambalnya dengan perak. (HR. Al-Bukhari)
   -Makruh (tanzih) jika sedikit untuk zinah (menghiasi bejana) tanpa ada hajat, dan tidak haram.
Kesimpulan hukum ini diambil dari penggabungan antara hadits yang melarang mutlak penggunaan bejana emas dan perak dan hadits Anas yang menyebutkan bahwa bagian bawah sarung pedang Nabi dari perak, ujung pegangan pedang beliau dari perak dan apa yang di antara itu lingkaran-lingkaran dari perak. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dan sebagaimana yang telah disebutkan bahwa hadits ini menjadi dalil Ulama` syafi’iyyah untuk kebolehan menghiasi peralatan perang dengan perak untuk laki-laki.
   -Jika banyak dan digunakan karena hajat maka hukumnya makruh tanzih. Makruh karena banyak dan tidak haram karena ada hajat.[1]
   -Haram jika banyak dan digunakan untuk zinah (menghiasi bejana) semata tanpa ada hajat.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan atsar dengan sanad shahih bahwa Ibnu ‘Umar tidak mau minum di wadah yang terdapat lingkaran perak dan tambalan perak.
Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani dengan sanad hasan meriwayatkan bahwa ‘Aisyah melarang menambal atau menyambung wadah-wadah untuk minum dengan perak.

-Menurut pendapat yang dipilih Imam An-Nawawi, ukuran banyak dan sedikit perak yang digunakan untuk hajat atau zinah kembali kepada ‘urf,
دليله أن ما أطلق ولم يحد رجع في ضبطه إلى العرف كالقبض في البيع والحرز في السرقة وإحياء الموات ونظائرها
“Dalilnya bahwa apa yang di-muthlak-kan (tidak terikat) dan tidak dibatasi pembatasannya kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan), seperti halnya masalah menerima barang dalam jual beli, penyimpanan harta curian yang mu’tabar hukuman potong tangan karena pidana pencurian, menghdupkan/mengelola lahan/tanah yang tidak ada pemiliknya dan penghuninya, serta hal-hal yang semisal lainnya”.



[1] Ini berdasarkan rincian paling shahih dari pendapat-pendapat Ulama Syafi’iyyah menurut Imam An-Nawawi . Adapun DR. Muhammad Az-Zuhaili dalm kitab Al-Mu’tamad fil Fiqhisy Syafi’I memilih pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya boleh (ja-iz) jika banyak sesuai kadar hajat, dan boleh untuk zinah jika sedikit adapun  jika banyak maka haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar