HUKUM
BEJANA YANG DITAMBAL ATAU DISAMBUNG DENGAN EMAS DAN PERAK
>Tambalan
dari emas hukumnya haram baik sedikit atau banyak, baik untuk hajat apalagi
untuk zinah (menghiasi bejana).
CATATAN:
Penggunaan
emas diharamkan kecuali karena darurat maka hukumnya boleh berdasarkan hadits
yang menyebutkan bahwa ‘Arfajah bin As’ad hidungnya terkena tebasan pedang pada
perang Al-Kulab maka diapun membuat hidung (palsu) dari perak lalu membusuk kemudian Nabi pun memerintahkannya untuk membuat hidung palsu dari emas. (HR. Abu Dawud,
At-Tirmidzi dan An-Nasai). Berdasarkan hadits ini Ulama` Syafi’iyyah sepakat
diperbolehkan membuat hidung, gigi dan kuku dari emas dan perak serta mengikat
gigi yang sakit dengan emas atau perak. Dan menurut yang paling masyhur tidak
boleh membuat tangan dan jari darinya.
>Jika
tambalannya dari perak maka hukumnya diperinci sebagai berikut:
-Tidak makruh jika sedikit untuk hajat
(kebutuhan) seperti menambal bejana, berdasarkan hadits Anas bahwa wadah minum
Nabi pecah atau terbelah maka Anas pun menyambungnya atau menambalnya dengan
perak. (HR. Al-Bukhari)
-Makruh (tanzih) jika sedikit untuk zinah
(menghiasi bejana) tanpa ada hajat, dan tidak haram.
Kesimpulan
hukum ini diambil dari penggabungan antara hadits yang melarang mutlak
penggunaan bejana emas dan perak dan hadits Anas yang menyebutkan bahwa bagian
bawah sarung pedang Nabi dari perak, ujung pegangan pedang beliau dari perak
dan apa yang di antara itu lingkaran-lingkaran dari perak. (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi).
Dan
sebagaimana yang telah disebutkan bahwa hadits ini menjadi dalil Ulama` syafi’iyyah
untuk kebolehan menghiasi peralatan perang dengan perak untuk laki-laki.
-Jika banyak dan digunakan karena hajat maka
hukumnya makruh tanzih. Makruh karena banyak dan tidak haram karena ada hajat.[1]
-Haram jika banyak dan digunakan untuk zinah
(menghiasi bejana) semata tanpa ada hajat.
Imam
Al-Baihaqi meriwayatkan atsar dengan sanad shahih bahwa Ibnu ‘Umar tidak mau
minum di wadah yang terdapat lingkaran perak dan tambalan perak.
Al-Baihaqi
dan Ath-Thabrani dengan sanad hasan meriwayatkan bahwa ‘Aisyah melarang
menambal atau menyambung wadah-wadah untuk minum dengan perak.
-Menurut
pendapat yang dipilih Imam An-Nawawi, ukuran banyak dan sedikit perak yang
digunakan untuk hajat atau zinah kembali kepada ‘urf,
دليله أن ما أطلق ولم يحد رجع في ضبطه إلى العرف كالقبض في
البيع والحرز في السرقة وإحياء الموات ونظائرها
“Dalilnya
bahwa apa yang di-muthlak-kan (tidak terikat) dan tidak dibatasi pembatasannya
kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan), seperti halnya masalah menerima barang dalam
jual beli, penyimpanan harta curian yang mu’tabar hukuman potong tangan karena
pidana pencurian, menghdupkan/mengelola lahan/tanah yang tidak ada pemiliknya dan
penghuninya, serta hal-hal yang semisal lainnya”.
[1] Ini berdasarkan
rincian paling shahih dari pendapat-pendapat Ulama Syafi’iyyah menurut Imam
An-Nawawi . Adapun DR. Muhammad Az-Zuhaili dalm kitab Al-Mu’tamad fil Fiqhisy
Syafi’I memilih pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya boleh (ja-iz) jika
banyak sesuai kadar hajat, dan boleh untuk zinah jika sedikit adapun jika banyak maka haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar