Senin, 03 Oktober 2016

MASALAH FIKIH: HUKUM BEJANA (1)



PENGERTIAN BEJANA
Dalam bahasa Arab:
الإناء (ج) آنية, أوانٍ
Maknanya: tempat atau wadah untuk meletakkan sesuatu yang cair, makanan dan minuman di dalamnya.


HUKUM ASAL MENGGUNAKAN BEJANA
Semua bejana yang terbuat dari bahan yang suci maka hukumnya suci, boleh digunakan dan dimiliki, baik yang terbuat dari batu, kayu, barang tambang, atau kulit hewan yang suci, sekalipun terbuat dari bahan yang berharga seperti batu mulia. Karena tidak ada dalil yang melarangnya maka kembali kepada hukum asalnya, selama tidak berlebih-lebihan dan dikarenakan rasa kesombongan. Adapun bejana yang terbuat dari benda najis maka tidak boleh memilikinya apalagi menggunakannya.


HUKUM BEJANA EMAS DAN PERAK
-Dikecualikan dari bejana yang terbuat dari benda atau bahan yang suci dua jenis bejana:
1. Bejana yang terbuat dari emas
2. Bejana yang terbuat dari perak
Berdasarkan hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تشربوا في آنية الذهب والفضة ولا تأكلوا في صحافها فإنها لهم في الدنيا ولكم في الآخرة
“Janganlah kalian minum di wadah dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan di piring dari emas dan perak, karena sesungguhnya itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat.” (Muttafaq ‘alaih)

Hukum menggunakan bejana atau wadah dari emas dan perak makruh tahrim berdasarkan pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, bahkan Imam Nawawi dengan tegas dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab mengatakan haram berdasarkan pendapat shahih masyhur, yang ditegaskan jumhur Ulama Syafi’iyyah. Dalil keharamannya adalah ancaman keras yang terdapat dalam hadits Ummu Salamah, Nabi bersabda:
الذي يشرب في آنية الفضة إنما يجرجر في بطنه نار جهنم
“Orang yang minum di wadah dari perak hanyalah menelan (dengan mengeluarkan suara) di dalam perutnya api neraka jahannam.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam salah satu riwayat Muslim dari jalur ‘Ali bin mushir:
إن الذي يأكل أو يشرب في آنية الفضة والذهب...
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum di bejana perak dan emas…”

-Dan larangan minum dan makan di bejana emas dan perak dikiyaskan kepada seluruh macam penggunakan termasuk diantaranya untuk berwudhu dan mandi. Demikian juga peralatan makan dan minum lainnya seperti nampan, piring, gelas, sendok, garpu yang terbuat dari emas dan perak. Jika haram menggunakannya maka haram memilikinya berdasarkan kaidah:
كل ما حرم استعماله حرم اقتناؤه, لأن الاقتناء يؤدي إلى الاستعمال وكل ما أدى إلى الحرام فهو حرام.
“Setiap yang haram digunakan maka haram memilikinya, karena memilikinya dapat menghantarkan kepada menggunakannya dan setiap yang menghantarkan kepada yang haram maka hukumnya haram”.
Demikian juga haram membuatnya berdasakan pendapat shahih dan disepakati yang disebutkan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’:
لأن ما لا يجوز استعماله لا يجوز اتخاذه كالطنبور ولأن اتخاذه يؤدي إلى استعماله فحرم كإمساك الخمر
“Karena apa yang tidak boleh digunakan tidak boleh membuatnya seperti thunbur[1], dan karena membuatnya dapat menghantarkan kepada menggunakannya sehingga haram seperti menyimpan khamar”.

-Jika seseorang berwudhu atau mandi dari bejana emas dan perak maka hukumnya sah tapi pelakunya berdosa karena menggunakan bejana tersebut, dikiyaskan kepada hukum shalat di ad-daar al-maghshubah (tempat atau rumah hasil perampasan).

-Sah hukumnya menjual bejana emas dan perak dengan syarat harganya sama dengan emas atau perak biasa sebelum dibentuk menjadi bejana atau emas sehingga penjualannya dikarenakan emas atau peraknya dan bukan karena bejananya. Ini berdasar pendapat bahwa haram membuat bejana emas dan perak yang disebutkan di atas, dikiyaskan dengan hukum menjual jariyah mughanniyah (budak wanita yang bisa atau pandai menyanyi).

-Boleh menggunakan bejana yang terbuat dari selain emas dan perak kemudian dipoles atau disepuh dengan emas atau perak, selama bejana tersebut jika terkena api tidak meleleh dan lepas bahan emas atau peraknya yang memiliki nilai sebagaimana emas atau perak biasa, karena itu dianggap seperti ma’dum (tidak ada).

- Haramnya penggunaan bejana dan wadah dari emas atau perak untuk makan dan minum serta lainnya umum meliputi laki-laki dan perempuan, berbeda dengan at-tahalli (berhias diri).


TAMBAHAN:
-Berhias diri dengan emas halal untuk wanita dan haram untuk laki-laki, berdasarkan hadits Abu Musa Al-‘Asy’ari, Nabi bersabda:
حرم لباس الحرير والذهب على ذكور أمتي وأحل لإناثهم
“Diharamkan memakai sutra dan emas atas laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi perempuan mereka”. (HR. At-Tirmidzi)

-Boleh bahkan sunnah bagi laki-laki memakai khatam (cincin) dari perak, berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Ash-Shahihain yang menyebutkan bahwa Nabi memakai cincin perak di tangan kanan beliau dan ijma’. Adapun perhiasan dari perak selain cincin maka haram menurut jumhur Ulama` Syafi’iyyah. Sebagian Ulama Syafi’iyyah, seperti Al-Mutawalli dan Al-Ghazali berpendapat boleh karena yang telah tetap hukumnya dalam masalah perak hanya pengharaman bejana dan pengharaman menyerupai wanita (tasyabbuh). Dan yang shahih adalah pendapat jumhur Ulama madzhab sebagaimana yang dijelaskan Imam An-Nawawi karena dalam hal tersebut terdapat tasyabbuh dengan wanita maka hukumnya haram.
-Demikian juga Ulama Syafi’iyyah menegaskan boleh bagi laki-laki menghiasi peralatan perang seperti pedang, tombak dan ujung-ujung anak panah, baju besi, ikat pinggang, khuf (sepatu) dan lainnya, karena hal tersebut termasuk yang dapat membuat musuh merasa takut atau ngeri (ar-ru’bu).
-Dan menurut yang paling shahih dari dua pendapat bahwa haram hukumnya menghiasi pelana, tali kekang kuda dan mata pisau dengan perak.
-Adapun menghiasi alat-alat perang dan lainya dari apa yang telah disebutkan dengan emas maka hukumnya haram menurut kesepakatan Ulama madzhab.
-Haram hukumnya menghiasi hewan seperti, ayam, kambing dan lainnya dengan emas atau perak.
-Menurut pendapat yang paling shahih hukumnya haram bagi laki-laki menghiasi pisau yang digunakan untuk memotong karena bukan termasuk alat perang, dan juga bagi perempuan menurut madzhab.
-Yang shahih menurut Imam An-Nawawi haram bagi perempuan/wanita menghiasi alat perang dengan emas ataupun perak karena menggunakan peralatan perang termasuk kekhususan laki-laki dan tasyabbuh perempuan dengan laki-laki haram. Sedangkan menurut Imam-Ar-Rafi’i tidak haram karena tasyabbuh secara asal hukumnya makruh dan secara global wanita dibolehkan ikut berperang.



[1]  Sejenis alat musik dawai, dimainkan dengan cara tertentu yang berbeda dengan alat-alat musik dawai lainnya seperti gitar, mandolin atau kecapi. Disebutkan bahwa alat musik ini digunakan pertama kali oleh orang Nubian, sebuah etnis yang tinggal di utara Sudan dan selatan Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar