PENGERTIAN BEJANA
Dalam bahasa Arab:
الإناء (ج)
آنية, أوانٍ
Maknanya:
tempat atau wadah untuk meletakkan sesuatu yang cair, makanan dan minuman di
dalamnya.
HUKUM
ASAL MENGGUNAKAN BEJANA
Semua
bejana yang terbuat dari bahan yang suci maka hukumnya suci, boleh digunakan
dan dimiliki, baik yang terbuat dari batu, kayu, barang tambang, atau kulit
hewan yang suci, sekalipun terbuat dari bahan yang berharga seperti batu mulia.
Karena tidak ada dalil yang melarangnya maka kembali kepada hukum asalnya,
selama tidak berlebih-lebihan dan dikarenakan rasa kesombongan. Adapun bejana
yang terbuat dari benda najis maka tidak boleh memilikinya apalagi
menggunakannya.
HUKUM
BEJANA EMAS DAN PERAK
-Dikecualikan
dari bejana yang terbuat dari benda atau bahan yang suci dua jenis bejana:
1.
Bejana yang terbuat dari emas
2.
Bejana yang terbuat dari perak
Berdasarkan
hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لا
تشربوا في آنية الذهب والفضة ولا تأكلوا في صحافها فإنها لهم في الدنيا ولكم في
الآخرة
“Janganlah kalian minum di wadah
dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan di piring dari emas dan perak,
karena sesungguhnya itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat.”
(Muttafaq ‘alaih)
Hukum
menggunakan bejana atau wadah dari emas dan perak makruh tahrim berdasarkan
pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, bahkan Imam Nawawi dengan tegas
dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab mengatakan haram berdasarkan pendapat
shahih masyhur, yang ditegaskan jumhur Ulama Syafi’iyyah. Dalil keharamannya
adalah ancaman keras yang terdapat dalam hadits Ummu Salamah, Nabi bersabda:
الذي يشرب في آنية الفضة إنما يجرجر في بطنه نار جهنم
“Orang yang minum di wadah dari
perak hanyalah menelan
(dengan mengeluarkan suara) di dalam perutnya api neraka jahannam.” (Muttafaq
‘alaih).
Dalam salah satu riwayat Muslim dari jalur ‘Ali bin mushir:
إن الذي يأكل أو يشرب في آنية الفضة والذهب...
“Sesungguhnya
orang yang makan atau minum di bejana perak dan emas…”
-Dan
larangan minum dan makan di bejana emas dan perak dikiyaskan kepada seluruh
macam penggunakan termasuk diantaranya untuk berwudhu dan mandi. Demikian juga
peralatan makan dan minum lainnya seperti nampan, piring, gelas, sendok, garpu
yang terbuat dari emas dan perak. Jika haram menggunakannya maka haram
memilikinya berdasarkan kaidah:
كل
ما حرم استعماله حرم اقتناؤه, لأن الاقتناء يؤدي إلى الاستعمال وكل ما أدى إلى
الحرام فهو حرام.
“Setiap
yang haram digunakan maka haram memilikinya, karena memilikinya dapat menghantarkan
kepada menggunakannya dan setiap yang menghantarkan kepada yang haram maka
hukumnya haram”.
Demikian
juga haram membuatnya berdasakan pendapat shahih dan disepakati yang disebutkan
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’:
لأن
ما لا يجوز استعماله لا يجوز اتخاذه كالطنبور ولأن اتخاذه يؤدي إلى استعماله فحرم
كإمساك الخمر
“Karena
apa yang tidak boleh digunakan tidak boleh membuatnya seperti thunbur, dan karena membuatnya dapat
menghantarkan kepada menggunakannya sehingga haram seperti menyimpan khamar”.
-Jika
seseorang berwudhu atau mandi dari bejana emas dan perak maka hukumnya sah tapi
pelakunya berdosa karena menggunakan bejana tersebut, dikiyaskan kepada hukum
shalat di ad-daar al-maghshubah (tempat atau rumah hasil perampasan).
-Sah
hukumnya menjual bejana emas dan perak dengan syarat harganya sama dengan emas
atau perak biasa sebelum dibentuk menjadi bejana atau emas sehingga
penjualannya dikarenakan emas atau peraknya dan bukan karena bejananya. Ini
berdasar pendapat bahwa haram membuat bejana emas dan perak yang disebutkan di
atas, dikiyaskan dengan hukum menjual jariyah mughanniyah (budak wanita yang
bisa atau pandai menyanyi).
-Boleh
menggunakan bejana yang terbuat dari selain emas dan perak kemudian dipoles
atau disepuh dengan emas atau perak, selama bejana tersebut jika terkena api
tidak meleleh dan lepas bahan emas atau peraknya yang memiliki nilai
sebagaimana emas atau perak biasa, karena itu dianggap seperti ma’dum (tidak
ada).
-
Haramnya penggunaan bejana dan wadah dari emas atau perak untuk makan dan minum
serta lainnya umum meliputi laki-laki dan perempuan, berbeda dengan at-tahalli
(berhias diri).
TAMBAHAN:
-Berhias
diri dengan emas halal untuk wanita dan haram untuk laki-laki, berdasarkan
hadits Abu Musa Al-‘Asy’ari, Nabi bersabda:
حرم لباس الحرير والذهب على ذكور أمتي وأحل لإناثهم
“Diharamkan memakai sutra dan emas
atas laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi perempuan mereka”. (HR.
At-Tirmidzi)
-Boleh bahkan sunnah bagi laki-laki
memakai khatam (cincin) dari perak, berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas dalam
Ash-Shahihain yang menyebutkan bahwa Nabi memakai cincin perak di tangan kanan
beliau dan ijma’. Adapun
perhiasan dari perak selain cincin maka haram menurut jumhur Ulama` Syafi’iyyah. Sebagian Ulama Syafi’iyyah, seperti Al-Mutawalli dan Al-Ghazali berpendapat
boleh karena yang telah tetap hukumnya dalam masalah perak hanya pengharaman
bejana dan pengharaman menyerupai wanita (tasyabbuh). Dan yang shahih adalah
pendapat jumhur Ulama madzhab sebagaimana yang dijelaskan Imam An-Nawawi karena
dalam hal tersebut terdapat tasyabbuh dengan wanita maka hukumnya haram.
-Demikian juga Ulama Syafi’iyyah menegaskan
boleh bagi laki-laki menghiasi peralatan perang seperti pedang, tombak dan
ujung-ujung anak panah, baju besi, ikat pinggang, khuf (sepatu) dan lainnya, karena
hal tersebut termasuk yang dapat membuat musuh merasa takut atau ngeri (ar-ru’bu).
-Dan menurut yang paling shahih dari
dua pendapat bahwa haram hukumnya menghiasi pelana, tali kekang kuda dan mata
pisau dengan perak.
-Adapun menghiasi alat-alat perang
dan lainya dari apa yang telah disebutkan dengan emas maka hukumnya haram
menurut kesepakatan Ulama madzhab.
-Haram hukumnya menghiasi hewan
seperti, ayam, kambing dan lainnya dengan emas atau perak.
-Menurut pendapat yang paling shahih
hukumnya haram bagi laki-laki menghiasi pisau yang digunakan untuk memotong karena
bukan termasuk alat perang, dan juga bagi perempuan menurut madzhab.
-Yang shahih menurut Imam An-Nawawi
haram bagi perempuan/wanita menghiasi alat perang dengan emas ataupun perak
karena menggunakan peralatan perang termasuk kekhususan laki-laki dan tasyabbuh
perempuan dengan laki-laki haram. Sedangkan menurut Imam-Ar-Rafi’i tidak haram
karena tasyabbuh secara asal hukumnya makruh dan secara global wanita
dibolehkan ikut berperang.