Sabtu, 31 Januari 2015

Adab-Adab Menuntut Ilmu (Bag.2)



 2) Adab yang Kedua: Taqwa
Bertakwa kepada Allah, karena sesungguhnya tidaklah takwa itu berada dalam perkara yang sedikit melainkan akan memperbanyaknya, dan tidaklah takwa itu berada dalam hal yang ringan melainkan akan menjadikannya berkah. Takwa merupakan wasiat Allah untuk orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, Allah berfirman:

Artinya: “Dan sungguh telah Kami wasiatkan kepada ahli kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian agar hendaknya kalian bertakwa kepada Allah.”

Dan takwa adalah wejangan Allah untuk seluruh hamba-Nya, Allah berfirman:
{ياأيها الناس اتقوا ربكم}
Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian.” ((QS. Al-Hajj:1)

Dan tidaklah takwa kepada Allah masuk ke dalam hati melainkan akan membuat kedua mata mengalir karena takut kepada-Nya, dan akan menjadikan hatinya bersegera dengan secepatnya menuju ketaatan kepada-Nya dan keridhaan-Nya.

Wahai penuntut ilmu, sesungguhnya jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menerima amalanmu, Allah berfirman:
{إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ}
Artinya: “Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma-idah:27)

Wahai penuntut ilmu, sesungguhnya jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya engkau akan menjadi wali-Nya, Allah berfirman:
{وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ}
Artinya: “Dan Allahlah wali(penolong) orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Jatsiyah:19)

Wahai penuntut ilmu, sesungguhnya jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan mencintaimu, Allah berfirman:
{بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ}
Artinya: “Tentu barang siapa yang menepati janjinya dan bertakwa maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.”

Sufyan Ats-Tsauri berkata:
((إنما فُضِّل العلم لأنه يُتّقَى به الله، وإلا كان كسائر الأشياء))
“Hanyalah ilmu itu memiliki keutamaan karena dengannya (seorang hamba) bertakwa kepada Allah, kalau bukan begitu tentu ilmu seperti halnya yang lain.”


3) Adab yang Ketiga: Menjaga dan Memanfaatkan Waktu
Karena menyia-nyiakan waktu merupakan hal yang dimurkai, dan ada sebuah ungkapanyang mengatakan:
مفتاح طلب العلم الحفاظ على الوقت
“Kunci menuntut ilmu adalah menjaga waktu.”

Ibnul Jauzi menjelaskan:
((ينبغي للإنسان أن يعرف شرف زمانه وقدر وقته، فلا يضيع منه لحظة في غير قربة، ويقدم فيه الأفضل فالأفضل من القول والعمل، ولتكن نيته في الخير قائمة من غير فتور بما لا يعجز عنه البدن من العمل))
“Seyogyanya bagi seseorang untuk mengetahui kemuliaan zaman dan  waktunya sehingga dia tidak melalaikan sekejap waktupun untuk selain ibadah yang menedekatkan dirinya kepada Allah, dia dalam menggunakan waktu mengedepankan yang paling utama lalu yang paling utama dari ucapan maupun perbuatan, dan hendaklah niatnya terus tegak tanpa ada kelemahan untuk melakukan amalan apa saja yang mampu dilakukan oleh badan.”[1]

Ibnul Qayyim berkata:
 ((إضاعة الوقت أشد من الموت؛ لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها((
“Menyia-nyiakan waktu lebih dahsyat dibandingkan kematian, karena menyia-nyiakan waktu dapat memutuskanmu dari Allah dan negri akhirat sedangkan kematian dapat memutuskanmu dari dunia dan ahlinya.”[2]

Beliau juga berkata:
))إذا أراد الله بعبد خيرا أعانه بالوقت وجعل وقته مساعدا ً له، كلما همت نفسه بالقعود، أقامه الوقت وساعده.))
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba Dia akan menolongnya dengan waktu serta menjadikan waktu sebagai pembantunya, setiap kali jiwanya ingin duduk maka waktu menjadikan dia berdiri dan membantunya.”[3]

Ibnu Jama’ah berkata:
((على طالب العلم أن يبادر شبابه و أوقات عمره إلى التحصيل و لا يغتر بخدع التسويف و التأميل فإن كل ساعة تمضي من عمره لا بدل لها و لا عوض عنها و يقطع ما يقدر عليه من العلائق الشاغلة و العوائق المانعة عن تمام الطلب و بذل الاجتهاد و قوة الجد في التحصيل فإنها كقواطع الطريق))
“Wajib bagi penuntut ilmu bersegera menggunakan masa mudanya dan seluruh waktu umurnya untuk memperoleh ilmu dan jangan tertipu dengan tipuan taswif (menunda-nunda) dan banyak angan-angan, karena setiap waktu yang berlalu dari umurnya tidak ada gantinya. Dan wajib bagi penuntut ilmu menyingkirkan seluruh rintangan dan halangan yang menyibukkan dan mencegahnya dari menuntut ilmu secara sempurna, dan dari mengerahkan kesungguhan dan ketekunan dalam memperoleh ilmu; karena seluruh rintangan dan halangan itu bagaikan pemutus-pemutus jalan.”[4]

والوقتُ أنفس ما عُنِيتَ بحفظه *** وأَراه أسهلُ ما عليك يَضيعُ!

Waktu hal yang paling berharga untuk kau perhatikan penjagaannya,
Dan kulihat waktu hal yang paling mudah tersia-siakan olehmu!


Contoh penjagaan para Ulama terhadap waktu-waktu yang mereka miliki:

>> Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata:
«يا بن آدم، إنما أنت أيام، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك»
“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau itu lembaran hari, maka jika satu hari telah berakhir berakhir pula sebagian dirimu.”[5]

>> Beliau juga berkata:
«أدركت أقوامًا كانوا على أوقاتهم أشد منكم حرصًا على دراهمكم ودنانيركم»
“Aku telah mendapati sejumlah kaum yang bersemangat menjaga waktu-waktu mereka melebihi semangat kalian terhadap dirham dan dinar kalian.”[6]

>> ‘Ubaid bin Ya’isy berkata:
))أقمت ثلاثين سنة ما أكلت بيدي بالليل كانت أختي تلقمني وأنا أكتب الحديث((
“Aku telah tinggal selama tiga puluh tahun, tidak pernah aku makan malam dengan tanganku dan saudarikulah yang menyuapiku sedangkan aku menulis hadits.”[7]

>>Imam Ibnu As-Subki, dulu beliau ketika masih hidup memiliki seorang anak yang meninggal dunia maka beliaupun men-shalatkan jenazahnya di madrasah kemudian mengiringinya hingga sampai pintu madrasah, bercucuranlah kedua mata beliau sambil berkata, “Wahai anakku, kutitipkan engkau kepada Allah Ta’ala”, lalu beliaupun meninggalkannya dan tidak keluar dari madrasah.[8]

>> Imam Ath-Thabari beliau membagi siang malam beliau untuk keperluan pribadi, agama, dan manusia, beliau tidak pernah meghabiskan sedetik hidup beliau tanpa faidah, memberikan faidah atau mendapatkan faidah. Beliau pernah berkata:
))ينبغي لطالب أن لا يدع طلب العلم حتى الممات((
“Sepantasnya bagi seorang thalib tidak meninggalkan menuntut ilmu hingga mati.”

>> Adh-Dhiya` Al-Maqdisi memaparkan biografi Al-Hafizh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi:
))كان لا يضيع شيئا من زمانه بلا فائدة، فإنه كان يصلي الفجر ويلقن القرآن وربما أقرأ شيئا من الحديث تلقينا، ثم يقوم فيتوضأ ويصلي ثلاث مئة ركعة بالفاتحة والمعوذتين إلى قبل الظهر، وينام نومة ثم يصلي الظهر، ويشتغل إما بالتسميع أو بالنسخ إلى المغرب، فإن كان صائما أفطر وإلا صلى من المغرب إلى العشاء، ويصلي العشاء وينام إلى نصف الليل أو بعده، ثم قام كأن إنسان يوقظه فيصلي لحظة ثم يتوضأ ويصلي إلى قرب الفجر، ربما توضأ سبع مرات أو ثمانيا في الليل، وقال ما تطيب لي الصلاة إلا ما دامت أعضائي رطبه ثم ينام نومة يسيرة إلى الفجر وهذا دأبه.))
“Beliau tidak pernah membuang sedikitpun waktu beliau tanpa ada faidah. Adalah beliau shalat fajar, men-talqinkan Al-Qur`an dan barangkali membacakan hadits yang kami hapalkan, kemudian (setelah itu semua) beliau berdiri, ber-wudhu` dan shalat tiga ratus rakaat dengan membaca Al-Fatihah dan Al-Mu’awidzatain sampai menjelang zhuhur, beliau tidur sebentar kemudian shalat zhuhur. (Setelah itu) Beliau menyibukkan diri dengan tasmi’ atau menyalin hingga waktu maghrib, jika beliau puasa beliau berbuka dan jika tidak maka beliau melakukan shalat (muthlaq) dari maghrib sampai ‘isya`, setelah shalat wajib`isya’ beliau tidur hingga tengah malam atau lebih, dan beliaupun bangun seakan-akan ada yang membangunkannya lalu shalat beberapa saat, kemudian berwudhu’ dan shalat hingga mendekati fajar, barang kali (selama itu) beliau telah berwudhu`tujuh atau delapan kali dalam semalam. Beliau pernah berkata:
“Tidaklah shalat menjadi nyaman/mudah bagiku kecuali selama anggota badanku basah”. Setelah itu beliaupun tidur ringan hingga wakau fajar, demilkianlah kebiasaan beliau.”[9]

>>Adalah Salim Ar-Razi terus membaca Al-Qur`an hingga beliau memperbaiki penanya untuk menulis, agar jangan sampai waktu terlewatkan sedang beliau tidak melakukan apa-apa.[10]

>> Adalah Dawud Ath-Tha`i beliau memakan kering sisa-sisa (remukan) roti dan berkata:
))بين سف الفتيت، وأكلِ الخبز قراءة خمسين آية((
“Antara memakan kering remukan roti dan memakan roti terpaut waktu (yang bisa digunakan untuk) membaca lima puluh ayat.”[11]

>> ‘Utsman Al-Baqilani beliau senantiasa berdzikir mengingat Allah dan beliau pada suatu hari pernah berkata:
))إني وقت الإفطار أحس بروحي كأنها تخرج، لأني أشتغل بالأكل عن الذكر((
“Sungguh aku waktu berbuka (puasa) merasa seakan-akan rohku keluar, karena aku tersibukan oleh makan dari berdzikir.”[12]

>> Fakhruddin Ar-Razi pernah berkata:
(( والله إني لأتأسف في الفوات عن الاشتغال بالعلم في وقت الأكل، فإن الوقت والزمان عزيز ((
“Demi Allah, sungguh aku menyesal karena pada waktu makan terlewat waktu untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Sesungguhnya waktu dan zaman itu amat berharga.”[13]



Sumber: Diterjemahkan dari kutayyib “Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Kaifiyyatu Thalabihi” dengan penyesuaian dan perubahan.



[1] Shaidul Khathir, (hal.33).
[2] Al-Fawaid, (hal.31).
[3] Madarijus Salikin Baina Manazili ‘Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in’, (3/125).
[4] Syarhu Lamiyyati Ibni Taimiyyah, (3/4).
[5] Az-Zuhd, karya Imam Ahmad bin Hambal, hal.225.
[6] Miftahul Afkar lit Taahhub li Daril Qarar, (3/29).
[7] Tarikhul Islam, (5/629)
[8] Thabaqat Asy-Syafi’yyah Al-Kubra, karya As-Subki, (8/260).
[9] Siyar A’lamin Nubala`, cet. Ar-Risalah, (21/452).
[10] Mukhtashar Tarikh Dimasyq, (10/198).
[11] Shaidul Khathir, hal. 492.
Ket: Syaikh Muhammad Al-Muqaddam menjelaskan dlm “Silsilah ‘Uluwwil Himmah” bahwa beliau memilih memakan kering remukan roti didandingkan makan roti itu sendiri, karena waktu mengunyah dan menelannya lebih cepat sehingga tidak terbuang waktu hanya untuk makan, berbeda dengan memakan roti itu sendiri membutuhkan waktu lama sampai-sampai beliau menyebutkan seukuran membaca 50 ayat. (pent.)
[12] Shaidul Khathir, hal. 492.
[13] ‘Uyunul Anba` fi Thabaqatil Athibba`, hal. 462.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar