2) Adab
yang Kedua: Taqwa
Bertakwa
kepada Allah, karena sesungguhnya tidaklah takwa itu berada dalam perkara yang
sedikit melainkan akan memperbanyaknya, dan tidaklah takwa itu berada dalam hal
yang ringan melainkan akan menjadikannya berkah. Takwa merupakan wasiat Allah
untuk orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, Allah berfirman:
Artinya: “Dan sungguh telah Kami wasiatkan
kepada ahli kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian agar hendaknya kalian
bertakwa kepada Allah.”
Dan takwa
adalah wejangan Allah untuk seluruh hamba-Nya, Allah berfirman:
{ياأيها الناس اتقوا ربكم}
Artinya: “Wahai
manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian.” ((QS. Al-Hajj:1)
Dan tidaklah takwa
kepada Allah masuk ke dalam hati melainkan akan membuat kedua mata mengalir
karena takut kepada-Nya, dan akan menjadikan hatinya bersegera dengan
secepatnya menuju ketaatan kepada-Nya dan keridhaan-Nya.
Wahai penuntut
ilmu, sesungguhnya jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menerima
amalanmu, Allah berfirman:
{إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ
مِنَ الْمُتَّقِينَ}
Artinya: “Allah
hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma-idah:27)
Wahai penuntut
ilmu, sesungguhnya jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya engkau akan
menjadi wali-Nya, Allah berfirman:
{وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ}
Artinya: “Dan
Allahlah wali(penolong) orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Jatsiyah:19)
Wahai penuntut
ilmu, sesungguhnya jika engkau bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan
mencintaimu, Allah berfirman:
{بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ
وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ}
Artinya: “Tentu
barang siapa yang menepati janjinya dan bertakwa maka sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa.”
Sufyan
Ats-Tsauri berkata:
((إنما فُضِّل العلم لأنه يُتّقَى به
الله، وإلا كان كسائر الأشياء))
“Hanyalah ilmu
itu memiliki keutamaan karena dengannya (seorang hamba) bertakwa kepada Allah,
kalau bukan begitu tentu ilmu seperti halnya yang lain.”
3) Adab
yang Ketiga: Menjaga dan Memanfaatkan Waktu
Karena
menyia-nyiakan waktu merupakan hal yang dimurkai, dan ada sebuah ungkapanyang
mengatakan:
مفتاح طلب العلم الحفاظ على الوقت
“Kunci
menuntut ilmu adalah menjaga waktu.”
Ibnul Jauzi
menjelaskan:
((ينبغي للإنسان أن يعرف شرف زمانه
وقدر وقته، فلا يضيع منه لحظة في غير قربة، ويقدم فيه الأفضل فالأفضل من القول
والعمل، ولتكن نيته في الخير قائمة من غير فتور بما لا يعجز عنه البدن من العمل))
“Seyogyanya
bagi seseorang untuk mengetahui kemuliaan zaman dan waktunya sehingga dia tidak melalaikan
sekejap waktupun untuk selain ibadah yang menedekatkan dirinya kepada Allah,
dia dalam menggunakan waktu mengedepankan yang paling utama lalu yang paling
utama dari ucapan maupun perbuatan, dan hendaklah niatnya terus tegak tanpa ada
kelemahan untuk melakukan amalan apa saja yang mampu dilakukan oleh badan.”[1]
Ibnul Qayyim
berkata:
((إضاعة الوقت أشد من الموت؛
لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها((
“Menyia-nyiakan
waktu lebih dahsyat dibandingkan kematian, karena menyia-nyiakan waktu dapat
memutuskanmu dari Allah dan negri akhirat sedangkan kematian dapat memutuskanmu
dari dunia dan ahlinya.”[2]
Beliau juga
berkata:
))إذا أراد الله بعبد خيرا أعانه بالوقت وجعل وقته مساعدا
ً له، كلما همت نفسه بالقعود، أقامه الوقت وساعده.))
“Jika Allah
menghendaki kebaikan bagi seorang hamba Dia akan menolongnya dengan waktu serta
menjadikan waktu sebagai pembantunya, setiap kali jiwanya ingin duduk maka
waktu menjadikan dia berdiri dan membantunya.”[3]
Ibnu Jama’ah
berkata:
((على طالب العلم أن يبادر شبابه و
أوقات عمره إلى التحصيل و لا يغتر بخدع التسويف و التأميل فإن كل ساعة تمضي من
عمره لا بدل لها و لا عوض عنها و يقطع ما يقدر عليه من العلائق الشاغلة و العوائق
المانعة عن تمام الطلب و بذل الاجتهاد و قوة الجد في التحصيل فإنها كقواطع
الطريق))
“Wajib bagi
penuntut ilmu bersegera menggunakan masa mudanya dan seluruh waktu umurnya
untuk memperoleh ilmu dan jangan tertipu dengan tipuan taswif (menunda-nunda)
dan banyak angan-angan, karena setiap waktu yang berlalu dari umurnya tidak ada
gantinya. Dan wajib bagi penuntut ilmu menyingkirkan seluruh rintangan dan
halangan yang menyibukkan dan mencegahnya dari menuntut ilmu secara sempurna, dan
dari mengerahkan kesungguhan dan ketekunan dalam memperoleh ilmu; karena seluruh
rintangan dan halangan itu bagaikan pemutus-pemutus jalan.”[4]
والوقتُ أنفس ما عُنِيتَ
بحفظه *** وأَراه أسهلُ ما عليك يَضيعُ!
Waktu hal
yang paling berharga untuk kau perhatikan penjagaannya,
Dan
kulihat waktu hal yang paling mudah tersia-siakan olehmu!
Contoh
penjagaan para Ulama terhadap waktu-waktu yang mereka miliki:
>>
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata:
«يا بن آدم، إنما أنت أيام، فإذا
ذهب يوم ذهب بعضك»
“Wahai anak
Adam, sesungguhnya engkau itu lembaran hari, maka jika satu hari telah berakhir
berakhir pula sebagian dirimu.”[5]
>>
Beliau juga berkata:
«أدركت أقوامًا كانوا على أوقاتهم
أشد منكم حرصًا على دراهمكم ودنانيركم»
“Aku telah
mendapati sejumlah kaum yang bersemangat menjaga waktu-waktu mereka melebihi
semangat kalian terhadap dirham dan dinar kalian.”[6]
>> ‘Ubaid
bin Ya’isy berkata:
))أقمت ثلاثين سنة ما أكلت بيدي بالليل كانت أختي تلقمني
وأنا أكتب الحديث((
“Aku telah
tinggal selama tiga puluh tahun, tidak pernah aku makan malam dengan tanganku
dan saudarikulah yang menyuapiku sedangkan aku menulis hadits.”[7]
>>Imam
Ibnu As-Subki, dulu beliau ketika masih hidup memiliki seorang anak yang
meninggal dunia maka beliaupun men-shalatkan jenazahnya di madrasah kemudian
mengiringinya hingga sampai pintu madrasah, bercucuranlah kedua mata beliau
sambil berkata, “Wahai anakku, kutitipkan engkau kepada Allah Ta’ala”, lalu
beliaupun meninggalkannya dan tidak keluar dari madrasah.[8]
>> Imam
Ath-Thabari beliau membagi siang malam beliau untuk keperluan pribadi, agama,
dan manusia, beliau tidak pernah meghabiskan sedetik hidup beliau tanpa faidah,
memberikan faidah atau mendapatkan faidah. Beliau pernah berkata:
))ينبغي لطالب أن لا يدع طلب العلم حتى الممات((
“Sepantasnya
bagi seorang thalib tidak meninggalkan menuntut ilmu hingga mati.”
>>
Adh-Dhiya` Al-Maqdisi memaparkan biografi Al-Hafizh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi:
))كان لا يضيع شيئا من زمانه بلا فائدة، فإنه كان يصلي الفجر
ويلقن القرآن وربما أقرأ شيئا من الحديث تلقينا، ثم يقوم فيتوضأ ويصلي ثلاث مئة
ركعة بالفاتحة والمعوذتين إلى قبل الظهر، وينام نومة ثم يصلي الظهر، ويشتغل إما
بالتسميع أو بالنسخ إلى المغرب، فإن كان صائما أفطر وإلا صلى من المغرب إلى
العشاء، ويصلي العشاء وينام إلى نصف الليل أو بعده، ثم قام كأن إنسان يوقظه فيصلي
لحظة ثم يتوضأ ويصلي إلى قرب الفجر، ربما توضأ سبع مرات أو ثمانيا في الليل، وقال
ما تطيب لي الصلاة إلا ما دامت أعضائي رطبه ثم ينام نومة يسيرة إلى الفجر وهذا
دأبه.))
“Beliau tidak
pernah membuang sedikitpun waktu beliau tanpa ada faidah. Adalah beliau shalat
fajar, men-talqinkan Al-Qur`an dan barangkali membacakan hadits yang kami
hapalkan, kemudian (setelah itu semua) beliau berdiri, ber-wudhu` dan shalat
tiga ratus rakaat dengan membaca Al-Fatihah dan Al-Mu’awidzatain sampai menjelang
zhuhur, beliau tidur sebentar kemudian shalat zhuhur. (Setelah itu) Beliau
menyibukkan diri dengan tasmi’ atau menyalin hingga waktu maghrib, jika beliau
puasa beliau berbuka dan jika tidak maka beliau melakukan shalat (muthlaq) dari
maghrib sampai ‘isya`, setelah shalat wajib`isya’ beliau tidur hingga tengah
malam atau lebih, dan beliaupun bangun seakan-akan ada yang membangunkannya
lalu shalat beberapa saat, kemudian berwudhu’ dan shalat hingga mendekati
fajar, barang kali (selama itu) beliau telah berwudhu`tujuh atau delapan kali
dalam semalam. Beliau pernah berkata:
“Tidaklah
shalat menjadi nyaman/mudah bagiku kecuali selama anggota badanku basah”.
Setelah itu beliaupun tidur ringan hingga wakau fajar, demilkianlah kebiasaan
beliau.”[9]
>>Adalah
Salim Ar-Razi terus membaca Al-Qur`an hingga beliau memperbaiki penanya untuk
menulis, agar jangan sampai waktu terlewatkan sedang beliau tidak melakukan
apa-apa.[10]
>> Adalah
Dawud Ath-Tha`i beliau memakan kering sisa-sisa (remukan) roti dan berkata:
))بين سف الفتيت، وأكلِ الخبز
قراءة خمسين آية((
“Antara
memakan kering remukan roti dan memakan roti terpaut waktu (yang bisa digunakan
untuk) membaca lima puluh ayat.”[11]
>> ‘Utsman
Al-Baqilani beliau senantiasa berdzikir mengingat Allah dan beliau pada suatu
hari pernah berkata:
))إني وقت الإفطار أحس بروحي كأنها تخرج،
لأني أشتغل بالأكل عن الذكر((
“Sungguh aku
waktu berbuka (puasa) merasa seakan-akan rohku keluar, karena aku tersibukan
oleh makan dari berdzikir.”[12]
>>
Fakhruddin Ar-Razi pernah berkata:
(( والله
إني لأتأسف في الفوات عن الاشتغال بالعلم في وقت الأكل، فإن
الوقت والزمان عزيز
((
“Demi Allah,
sungguh aku menyesal karena pada waktu makan terlewat waktu untuk menyibukkan
diri dengan ilmu. Sesungguhnya waktu dan zaman itu amat berharga.”[13]
Sumber: Diterjemahkan dari kutayyib “Al-‘Ilmu Fadhluhu wa
Kaifiyyatu Thalabihi” dengan penyesuaian dan perubahan.
[1]
Shaidul Khathir, (hal.33).
[2] Al-Fawaid, (hal.31).
[3] Madarijus Salikin
Baina Manazili ‘Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in’, (3/125).
[4]
Syarhu Lamiyyati Ibni Taimiyyah, (3/4).
[5] Az-Zuhd, karya Imam
Ahmad bin Hambal, hal.225.
[6] Miftahul Afkar lit
Taahhub li Daril Qarar, (3/29).
[7] Tarikhul Islam,
(5/629)
[8] Thabaqat Asy-Syafi’yyah
Al-Kubra, karya As-Subki, (8/260).
[9] Siyar A’lamin Nubala`,
cet. Ar-Risalah, (21/452).
[10] Mukhtashar Tarikh
Dimasyq, (10/198).
[11] Shaidul Khathir,
hal. 492.
Ket: Syaikh Muhammad Al-Muqaddam menjelaskan
dlm “Silsilah ‘Uluwwil Himmah” bahwa beliau memilih memakan kering remukan roti
didandingkan makan roti itu sendiri, karena waktu mengunyah dan menelannya
lebih cepat sehingga tidak terbuang waktu hanya untuk makan, berbeda dengan
memakan roti itu sendiri membutuhkan waktu lama sampai-sampai beliau
menyebutkan seukuran membaca 50 ayat. (pent.)
[12] Shaidul Khathir,
hal. 492.
[13] ‘Uyunul Anba` fi
Thabaqatil Athibba`, hal. 462.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar