1) Dengan ilmu kita dapat
membenarkan dan meluruskan amalan kita.
Allah Ta’ala berfirman:
{الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ }
Artinya: “Yang telah
menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji kalian siapakah di antara
kalian yang paling baik amalannya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS.
Al-Mulk:2)
Imam Fudhail bin ‘Iyadh
berkata menjelaskan makna firman Allah di atas:
((أحسن
عملا : أخلصه وأصوبه((
“Yang paling baik amalannya,
yaitu yang paling ikhlash dan paling benar amalannya”, maka merekapun bertanya:
“Wahai Abu ‘Ali, apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling
benar/tepat?” Beliau menjawab:
))إذا كان العمل
خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل ، وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل، الإخلاص أن
يكون لله تعالى ، والصّواب أن يكون على سنّة رسول الله.))
“Amalan jika dilakukan dengan ikhlash tapi
tidak benar maka tidak diterima, dan jika amalan tersebut benar tapi tidak
ikhlash juga tidak diterima. Ikhlash yaitu amalan dilakukan karena Allah Ta’ala
dan Shawab (benar/tepat) yaitu amalan dilakukan berdasarkan sunnah
(petunjuk/jalan) Rasulullah.” (Hilyatul Auliya, karya Abu Nu’aim: 8/95)
Imam Al-Bukhari membuat bab
dalam Shahih-nya: “Baab Al-‘Ilmu Qablal Qauli wal ‘Amal” (Bab Berilmu Sebelum
Berkata dan Berbuat), berdasarkan firman Allah Ta’ala:
{فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ}
Artinya: “Maka ketahuilah
bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah..” (QS. Muhammad:19)
Ibnul Munayyir (pengarang
kitab Al-Mutawari ‘Ala Abwabil Bukhari) menjelaskan maksud dari perkataan Imam
Al-Bukhari di atas:
))أراد به أنّ
العلم شرط في صحّة القول والعمل ، فلا يعتبران إلاّ به فهو مقدم عليهما، لأنّه
مصحّح للنيّة المصححة للعمل((.
“Beliau ingin (menjelaskan)
dengan bab tersebut bahwa ilmu adalah syarat dalam sahnya perkataan dan
perbuatan, maka keduanya tidak dianggap tanpa ilmu sehingga ilmu didahulukan
dari pada keduanya, karena ilmu yang men-tashhih ( membenarkan) niat yang
merupakan pen-tashhih suatu amalan.”
2) Di antara pentingnya ilmu
adalah bahwa ilmu mewariskan kesempurnaan iman dan rasa takut kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
{إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
Artinya: “Yang takut kepada
Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (QS. Fathir:28)
Dalam kitab Fadhlu ‘Ilmi
As-Salaf ‘Ala ‘Ilmi Al-Khalaf (hal.7) Imam Ibnu Rajab menyebutkan:
((قال
ابن مسعود وغيره كفى بخشية اللَه علما وكفى بالاغترار باللَه جهلا، وقال بعض السلف
ليس العلم بكثرة الرواية ولكن العلم الخشية))
“Berkata Ibnu Mas’ud dan yang
lainnya: ‘Cukuplah rasa takut sebagai ilmu dan cukuplah tertipu/lalai dari
Allah sebagai kejahilan’, dan berkata sebagian para Salaf: ‘Ilmu itu bukan
dengan banyak meriwayatkan tapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah)’.”
Ibnu Rajab juga berkata:
((وسبب
ذلك أن العلم النافع يدل على أمرين :
أحدهما على معرفة اللَه وما يستحقه من الأسماء الحسنى والصفات
العلى والأفعال الباهرة. وذلك يستلزم إجلاله وإعظامه وخشيته ومهابته ومحبته ورجاءه
والتوكل عليه والرضى بقضائه والصبر على بلائه.
والأمر الثاني المعرفة بما يحبه ويرضاه وما يكرهه ويسخطه من
الاعتقادات والأعمال الظاهرة والباطنة والأقوال فيوجب ذلك لمن علمه المسارعة إلى
ما فيه محبة اللَه ورضاه والتباعد عما يكرهه ويسخطه.
فإذا أثمر العلم لصاحبه
هذا فهو علم نافع فمتى كان العلم نافعاً ووقر في القلب فقد خشع القلب للَّه وانكسر
له. وذل هيبة وإجلالا وخشية ومحبة وتعظيما. ومتى خشع القلب للَّه وذل وانكسر له
قنعت النفس بيسير الحلال من الدنيا وشبعت به فأوجب لها ذلك القناعة والزهد في
الدنيا.))
“Sebab hal tersebut adalah
bahwa ilmu yang bermanfaat itu menunjukkan atas dua perkara:
Pertama: Menunjukkan atas Ma’rifatullah
(mengenal Allah) serta mengenal nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya yang
tinggi dan perbuatan-Nya yang menakjubkan, hal itu melazimkan pengagungan,
pemuliaan terhadap-Nya, rasa takut, cinta dan harapan kepada-Nya, tawakkal
kepada-Nya, ridha terhadap Qadha`-Nya dan sabar terhadap ujian-Nya.
Kedua: (Menunjukkan atas) ma’rifat
terhadap segala bentuk ibadah yan Dia cintai dan ridhai serta mengenal segala larangan yang Dia benci dan murkai baik berupa keyakinan, amalan dan
perkataan yang nampak maupun tersembunyi, itu menyebabkan orang yang mengilmuinya
bersegera mengamalkan apa saja yang Dia cintai dan ridhai serta menjauh dari
apa saja yang Dia benci dan murkai.
Jadi, jika ilmu itu
menghasilkan hal ini bagi pemiliknya maka ilmunya tersebut adalah ilmu yang
bermanfaat, kapan saja ilmu menjadi bermanfaat
dan tertancap dalam hati maka hatipun khusyu’ dan tunduk kepada Allah,
menjadi hina karena rasa takut dan pengagungan kepada-Nya, kapan saja hati itu khusyu' dan hina serta tunduk kepada-Nya niscaya jiwa akan merasa cukup
dan kenyang dengan yang halal dari dunia meskipun sedikit, sehingga itupun menumbuhkan dalam
jiwa rasa Qana’ah dan Zuhud terhadap dunia.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘Ala ‘Ilmil
Khalaf, hal.7)
Dalam kitab yang sama beliau
menyebutkan:
((كان
السلف يقولون أن العلماء ثلاثة. عالم باللَه عالم بأمر اللَه. وعالم باللَه ليس بعالم
بأمره. وعالم بأمر اللَه ليس بعالم باللَه وأكملهم الأول وهو الذي يخشى الله ويعرف
أحكامه.))
“Para Salaf dulu mengatakan
bahwa Ulama ada tiga golongan: orang yang alim tentang Allah dan perintah
Allah, alim tentang Allah tapi tidak alim tentang perintah-Nya, dan alim
tentang perintah Allah tapi tidak alim tentang Allah, yang paling sempurna di
antara mereka adalah yang pertama, yaitu dialah yang takut kepada Allah serta
mengetahui hukum-hukum-Nya.”
3) Menuntut ilmu lebih utama
dari ibadah-ibadah nafilah.
Syaikh Rasyid Az-Zahrani
menjelaskan:
“Menuntut ilmu dan men-tahshil-nya
lebih utama dibandingakan dengan ibadah nafilah itu ditinjau dari enam sisi:
1. Manfaat ilmu menyeluruh
sedangkan manfaat ibadah hanya terbatas pada pengamalnya.
2. Ibadah itu sendiri
membutuhkan ilmu terlebih dahulu, seseorang tidak bisa melakukan ibadah kecuali
setelah mempelajarinya dengan ilmu.
3.Banyak ayat dan hadits yang
menjelaskan keutamaan ilmu dan kedudukan ahli ilmu.
4. Manfaat ilmu terus
mengalir setelah kematian pemiliknya, berbeda dengan ibadah terputus dengan
terputusnya kehidupan ahli ibadah.
5. Perhatian terhadap ilmu
dan konsisten dalam menuntut ilmu merupakan bentuk penjagaan terhadap syari’at
Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak disangkal lagi orang yang
menjaga syariat ini termasuk golongan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
6. Menurut sebagian Ulama
bahwa fardhu kifayah lebih utama dibandingkan dengan fardhu ‘ain, karena orang
yang melaksanakan fardhu kifayah dengan begitu telah menggugurkan tanggungan
dosa dari umat Muhammad Shallahu ‘alahi wa sallam. Oleh karena itu, orang yang
menuntut ilmu syar’i (yang sifatnya kifayah) telah menggugurkan tanggungan dosa
dari umat Islam”. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Diterjemahkan dari
kutayyib “Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Kaifiyyatu Thalabihi” dengan perubahan dan
penyesuaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar