Disebutkan,
perumpamaan Iman adalah seperti sebuah negri yang memiliki lima beteng
pertahanan, benteng pertama (yang paling akhir) terbuat dari emas, yang kedua
dari perak, yang ketiga dari besi, yang keempat dari batu bata yang dibakar,
dan yang kelima (yang paling depan) dari batu bata yang dikeringkan. Tidak
henti-hentinya para penjaga benteng mengawasi benteng yang terdepan (yang
terbuat dari batu bata yang dikeringkan) hingga musuh tidak memiliki keinginan
untuk merebut benteng selanjutnya, dan jika mereka melalaikan penjagaan benteng
terdepan maka musuhpun akan merebut benteng yang kedua, lalu ketiga hingga
semua benteng behasil dirubuhkan. Demikianlah Iman itu memiliki lima benteng,
yaitu: Yaqin, Ikhlash, Melaksanakan Kewajiban (Adaa`ul Faraidh), lalu
perkara-perkara sunnah (As-Sunan), kemudia Menjaga Adab (Hifzhul Aadaab),
selama seseorang senantiasa menjaga adab
maka syaithanpun tak punya keinginan untuk melalaikannya, hingga jika dia mulai
meninggalkan adab maka syaithanpun akan melalaikannya, pertama dari pelaksanaan
sunnah-sunnah, lalu perkara-perkara wajib, kemudian ikhlash dan yang terakhir
yaqin.[1]
Imam ‘Abdul Haqq Ibnul Kharrath Al-Isybili menyebutkan
bahwa sebagian Ulama mengatakan:
((لا تستهن بالآداب , فإن من
استهان بالآداب استهان بالسنن , ومن استهان بالسنن استهان بالفرائض))
“Janganlah
meremehkan adab-adab, karena siapa yang meremehkan adab dia akan meremehkan
sunnah-sunnah, dan orang yang meremehkan sunnah akan meremehkan
jewajiban-kewajiban.”
Dari Ibnul Mubarak berkata, Makhlad bin Al-Husain berkata
kepadaku:
((نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا
إلى كثير من الحديث . ))
“Kita lebih membutuhkan memperbanyak adab dibandingkan
kebutuhan kita untuk memperbanyak (periwayatan) hadits.”[2]
Abu An-Nadhr Al-Faqih berkata, aku mendengar Al-Busyanji
(Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibrahim, faqih maliki) berkata:
((من أراد العلم والفقه بغير أدب ،
فقد اقتحم أن يكذب على الله
ورسوله .))
“Barang siapa yang menginginkan ilmu dan fiqh tanpa adab
maka dia pasti akan lancang berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.”[3]
1) Adab yang Pertama: Ikhlash
Ikhlash adalah:
))سر
بين الله وبين العبد ، لا يعلمه ملك فيكتبه ، ولا شيطان فيفسده ، ولا هوى فيميله))
“Rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahuai
oleh malaikat hingga diapun mencatatnya, tidak diketahui syaithan hingga dia
merusakanya, dan tidak pula hawa nafsu hingga diapun menyimpangkannya”.[4]
Ilmu adalah ibadah dan syarat diterimanya ibadah adalah
mengikhlashkan niat untuk Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ}
Artinya: “Tidaklah mereka diperintah kecuali untuk
beribadah kepada Allah dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya.” (QS.
Al-Bayyinah:5)
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
((إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل
امرئٍ ما نوى))
“Hanyalah amalan itu dengan niat, dan bagi setiap orang
hanyalah apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits lain beliau bersabda:
(( من تعلم علما مما يبتغى به وجه
الله ، لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا ، لم يجد عرف الجنة يوم القيامة ))
“Barang siapa yang memepelajari ilmu yang seharusnya
diniatkan untuk mengharap wajah Allah, lalu dia tidaklah mempelajarinya kecuali
untuk mendapatkan kesenangan dunia maka dia tidak akan mencium bau surge pada
hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
Dari ‘Abdullah, dia berkata:
((من طلب العلم لأربع دخل النار أو نحو هذه الكلمة ليباهي به
العلماء أو ليماري به السفهاء أو ليصرف به وجوه الناس إليه أو ليأخذ به من
الأمراء))
“Barang siapa menuntut ilmu karena empat perkara ini dia
akan masuk neraka -atau kalimat semaknanya-: untuk berbangga dengannya terhadap
ulama, untuk mendebat orang-orang bodoh, untuk memalingkan wajah manusia
kepadanya atau untuk meminta sesuatu dengannya kepada para umara`.” (Sunan
Ad-Darimi)[5]
Al-Hasan berkata:
(( من طلب العلم ابتغاء الآخرة أدركها ، ومن طلب العلم ابتغاء
الدنيا فهو حظه منه.))
“Barang siapa yang menuntut ilmu untuk mencari akhirat
dia pasti akan menbapatkannya dan barang siapa yang menuntut ilmu untuk mencari
dunia maka hanya itu bagian yang dia dapat darinya.”[6]
Imam Asy-Syafi’I berkata:
((وددتُ أن الناس تعلَّموا هذا العلم على أن لا يُنسب إلي منه
شيءٌ.))
Aku sangat ingin agar manusia mempelajari ilmu ini tanpa
menisbatkannya kepadaku sedikitpun.”[7]
Abu ‘Abdillah Ahmad bin ‘Atha Al-Rudzbari berkata:
((العلم موقوف على العمل ، والعمل موقوف على الإخلاص ، والإخلاص
يورث الفهم عن الله عز وجل.))
“Ilmu itu terhenti pada amal, dan amal itu terhenti pada
ikhlash, dan ikhlash itu mewariskan pemahaman dari Allah ‘Azza wa Jalla.”[8]
Seseorang hanyalah mendapatkan ilmu sekadar niat
ikhlashnya dan ikhlash dalam menuntut ilmu berpijak pada empat pondasi yang
dengannya terwujud niat ikhlash pada seorang penuntut ilmu jika dia
melakukannya:
1-
رفع الجهل عن نفسه
2- رفع الجهل عن الخلق
3- إحياء العلم وحفظه
من الضياع 4- العمل بالعلم.
1. Raf’ul jahli ‘an nafsihi (menghilangkan kebodohan pada
dirinya)
2. Raf’ul jahli ‘anil khalqi (menghilangkan kebodohan
pada diri makhluk)
3. Ihya`ul ‘ilmi wa hifzhuhu minadh dhaya’ (menghidupkan
ilmu dan menjaganya dari kelenyapan)
4. Al-‘Amalu bil ‘ilmi (mengamalkan ilmu).[9]
Ibnu Jama’ah (penulis kitab Tadzkiratus Sami’ wal
Mutakallim) bertutur tentang ikhlash:
((هو حسن النية في طلب العلم بأن يقصد به وجه الله تعالى، والعمل
به، وإحياء الشريعة وتنوير قلبه وتجلية باطنه والقرب من الله تعالى يوم القيامة،
والتعرض لما أعد لأهله من رضوانه وعظيم فضله))
“Yaitu niat yang baik dalam menuntut ilmu bertujuan untuk
mencari Wajah Allah, mengamalkannya, menghidupkan syariat, menerangi hati dan
membersihkan batinnya, dan mendekatkan diri kepada Allah pada hari kiamat serta
mengharap apa yang Allah persiapkan bagi ahli ilmu berupa keridhaan-Nya dan
karunia-Nya yang agung.”
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
((إنَّ أوَّل خلق الله تُسعَّر بهم النار يوم القيامة ثلاث ... منهم
العالم الذي قرأ القرآن ليُقال: قارئ، وتعلَّم العلم ليُقال: عالم، وإنه يُقال له:
قد قيل ذلك، وأمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار))
“Sesungguhnya makhluk pertama yang dinyalakan api neraka
padanya di hari kiamat ada tiga... salah satunya: seorang alim yang membaca
Al-Qur`an agar dia dikatakan seorang qaari`, mempelajari ilmu agar dikatakan
orang alim, dan sesungguhnya akan dikatakan padanya: itu sudah dikatakan (pada
kalian di dunia), lalu Allah pun memerintahkan agar dia diseret di atas
wajahnya hingga dilempar ke neraka.” (HR. Muslim)
Wahai penuntut ilmu, yakinlah bahwa Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu maka selamat untukmu jika Allah telah melihat keikhlashan
pada hatimu.
Sumber: Diterjemahkan dari kutayyib “Al-‘Ilmu Fadhluhu wa
Kaifiyyatu Thalabihi” dengan penyesuaian dan perubahan.
[1]
Kitab Ghidza`ul Albab Syarhu Manzhumatil Adab, karya Abu Ishaq
Al-Isfarayini (1/37).
[2] Kitab Al-Jami’ li
Akhlaqir Rawi wa Aadabis Sami’, karya Al-Kathib Al-Baghdadi (1/80).
[3] Siyar A’lamin
Nubala`, cetakan Ar-Risalah, (13/586)
[4] Ini adalah
perkataan Al-Junaid dan dinukil oleh Ibnu Qayyim dalam kitab beliau Madarijus
Salikin. (penterjemah)
[5] Hadits ini mauquf
atas ‘Abdullah bin Mas’ud dan juga diriwayatkan secara marfu’ oleh At-Tirmidzi
dari Ka’ab bin Malik dengan redaksi:
"من طلب العلم ليجاري
به العلماء، أو ليماري به السفهاء، أو ليصرف به وجوه الناس إليه، أدخله الله النار"
“Barang siapa yang menuntut ilmu untuk
menyaingi ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah manusia
kepadanya maka Allah akan masukkan dia ke neraka.” (pent.)
[6] Iqtidha`ul ‘Ilmi
Al-‘Amal, karya Al-Khathib Al-Baghdadi, hal.66.
[7] Jami’ul ‘Ulum wal
Hikam (1/310).
[8] Iqtidha`ul ‘Ilmi
Al-‘Amal, karya Al-Khathib Al-Baghdadi, hal.32.
[9] Dinukil dengan
perubahan dari risalah Ta’zhimul ‘Ilmi, karya Al-‘Ushaimi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar