4) Adab yang Keempat: Sabar
Allah Ta’ala berfirman:
{وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ
بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ}
Artinya: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar dan yakin
terhadap ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah:24)
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitab Miftah Daris Sa’adah
bahwa beliau mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
((بالصبر واليقين تنال الإمامة فى
الدين))
“Dengan kesabaran dan keyakinan, akan diraih kepemimpinan
dalam agama.”
Allah Ta’ala berfirman:
{وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا
بِاللَّهِ}
Artinya: “Dan bersabarlah (wahai Muhammad), dan tidaklah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl:127)
{وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ
الصَّابِرِينَ}
Artinya: “Dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal:46)
{ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ
أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
Artinya: “Hanya orang-orang sabar yang akan dipenuhi
pahala mereka tanpa perhitungan.” (QS. Az-Zumar:10)
>> Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari
Yahya bin Abi Katsir beliau berkata: “Aku mendengar ayahku mengatakan:
((لا يستطاع العلم براحة الجسم))
‘Ilmu tidak akan didapat dengan tubuh yang santai’.”[1]
>>Imam Asy-Sya’bi ditanya:
))من أين لك هذا العلم كله ؟((
“Dari mana engkau mendapatkan semua ilmu ini?”
Beliaupun menjawab:
((بنفي الاعتماد ، والسير في
البلاد ، وصبر كصبر الجماد ، وبكور كبكور الغراب))
“Dengan tanpa bersandar (kepada orang lain), bersafar di
belahan negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, bersegera seperti
bersegeranya burung gagak.”[2]
>>Abu Ahmad Nashr bin Ahmad Al-‘Iyadhi (faqih dari
Samarkand, Uzbekistan) berkata:
((لا ينال هذا العلم إلا من عطل
دكانه وخرب بستانه وهجر إخوانه ومات أقرب أهله إليه فلم يشهد جنازته ))
“Tidak akan memperoleh ilmu ini kecuali orang yang
mengosongkan tokonya, merusak kebunnya, meninggalkan saudara-saudaranya dan
ketika meninggal kerabat terdekatnya dia tidak bisa menyaksikan jenazahnya.”[3]
>>Abu Yusuf Al-Qadhi berkata:
((العلم شيء لا يعطيك بعضه حتى
تعطيه كلك وأنت إذا أعطيته كلك من إعطائه البعض على غرر))
“Ilmu adalah sesuatu yang tidak memberikan kepadamu
sebagiannya hingga engkau memberikan untuknya seluruh dirimu, dan jika engkau
telah memberikan seluruh dirimu untuknya engkau akan segera mendapatkan
sebagiannya lagi.”[4]
>>Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu
berkata:
((الصّبر مطيّة لا تكبو))
“Sabar adalah tunggangan yang tidak pernah terjatuh.”[5]
>>Imam Asy-Syafi’I berkata:
((لا يدرك العلم إلا بالصبر على
الضر ))
“Ilmu tidak akan didapat kecuali dengan bersabar atas gangguan.”[6]
>>Beliau juga berkata:
(( لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز
النفس فيفلح ، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح))
“Tidaklah seseorang menuntut ilmu ini dengan kekuasaan
dan hati yang tinggi (keangkuahan) akan berhasil, akan tetapi siapa yang
mencarinya dengan kerendahan hati dan kesempitan hidup serta melayani ulama
maka dia akan berhasil.”[7]
>>Tsa’lab berkata:
(( كان رجل يطلب العلم فلا يقدر عليه ، فعزم على تركه ، فمر
بماء ينحدر من رأس جبل على صخرة ، قد أثر الماء فيها ، فقال
: الماء
على لطافته قد أثّر في صخرة على كثافتها ، والله لأطلبن العلم . فطلب فأدرك))
“Dulu ada seseorang menuntut ilmu akan tetapi tidak
sanggup sehingga dia bertekad meninggalkannya, lalu diapun melewati air yang
turun dari puncak gunung mengenai sebuah batu, air itu telah menimbulkan bekas
pada batu, maka diapun berkata:
‘Air ini dengan kelembutannya mampu memberikan bekas pada
batu yang tebal. Demi Allah, aku akan benar-benar menuntut ilmu.’ Akhirnya
diapun menuntut ilmu dan berhasil.”[8]
>>Imam Ibnul Jauzi menjelaskan:
(( تأملت عجبًا، وهو أن كل شيء نفيس خطير يطول طريقه، ويكثر التعب
في تحصيله. فإن العلم لما كان أشرف الأشياء، لم يحصل إلا بالتعب والسهر والتكرار،
وهجر اللذات والراحة، حتى قال بعض الفقهاء: بقيت سنين أشتهي الهريسة لا أقدر؛ لأن وقت بيعها وقت سماع الدرس!))
“Aku telah merenungkan sesuatu yang ajaib, yaitu segala
sesuatu yang berharga dan besar tentu jalannya panjang dan sangat melelahkan
dalam memperolehnya. Jadi, karena ilmu itu adalah sesuatu yang paling mulia
tentu tidak akan diperoleh kecuali dengan kelelahan, bergadang dan
berulang-ulang, serta meninggalkan kelezatan dan kesantaian. Sampai-sampai
sebagian ahli fikih berkata: ‘Aku telah menetap bertahun-tahun, aku sangat
ingin memakan ‘harisah’ (nama jenis makanan yang rasanya manis) tapi tidak bisa, karena waktu penjualannya
bertepatan waktu menyimak pelajaran!’.”[9]
>>Seorang laki-laki bertanya kepada salah seorang
ulama:
((بم أدركت العلم ؟))
“Bagaimana engkau
mendapatkan ilmu?” Beliaupun menjawab:
طلبته فوجدته بعيد المراد ، لا يصاد بالسهام ، ولا يرى في المنام ،ولا يورث
عن الآباء والأعمام . فتوسلت إليه بافتراش المدرِ ، واستناد الحجر ، وإدمان السهر
وكثرة النظر ، وإعمال الفكر ومتابعة السفر ، وركوب الخطر : فوجدته شيئاً لا يصلح
إلا للغرس ولا يغرس إلا في النفس ، ولا يسقي إلا بالدرس . أرأيت من يشغل نهاره
بالجمع ، وليله بالجماع هل يخرج من ذلك فقيهاً ؟ كلا والله . إن العلم لا يحصل إلا
لمن اعتضد الدفاتر ، وحمل المحابر ، وقطع القفار ، وواصل في الطلب الليل والنهار))
“Kucari ilmu itu lalu kutemukan jauh dari yang diinginkan.
Ilmu itu tidak diburu dengan panah, tidak terlihat dalam mimpi, tidak pula
diwarisi dari ayah dan paman. Lalu akupun mencoba meraihnya dengan duduk di
atas tanah liat, bersandar pada batu, suka bergadang, banyak penelitian, mempekerjakan
pikiran, mengikuti perjalanan, dan menaiki rintangan. Akupun akhirnya mendapati
bahwa ilmu itu sesuatu yang tak layak kecuali untuk ditanam, tidak ditanam
kecuali dalam jiwa, dan tidak disirami kecuali dengan pelajaran. Apa pendapatmu
tentang orang yang menyibukkan siangnya dengan jamak (mengumpulkan ilmu) dan
malamnya sibuk dengan jimak? Apakah dia akan menjadi seorang yang faqih?
Sekali-kali tidak, demi Allah. Sesungguhnya ilmu itu tidak akan diperoleh
kecuali oleh orang yang memangku banyak buku tulis, membawa tempat-tempat
tintah, melewati dataran tandus, serta berkesinambungan dalam menuntut ilmu
siang dan malam.”[10]
5) Adab yang Kelima: Akhlak yang
Baik
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya
tentang sesuatu yang paling berat di timbangan, beliau menjawab:
)(تقوى
الله وحسن الخُلق)(
“Takwa kepada Allah dan baiknya akhlak.”[11]
Maka, seorang penuntut ilmu mesti membiasakan dirinya
untuk berakhlak mulia, berhasrat untuk mencapai keutamaan akhlak mulia dan budi
pekerti yang luhur serta menjauhi perilaku buruk yang rendahan.
Al-Mawardi berkata:
((إذا حَسُنَت أخلاقِ الإنسان كثر
مُصافوه، وقَلَّ مُعادوه، فتسهلت عليه الأمور الصِّعاب، ولانَت له القلوبُ
الغضاب))
“Jika seseorang berakhlak baik maka akan banyak sahabatnya
dan sedikit musuhnya sehingga segala perkara sulit menjadi mudah baginya dan
semua hati yang marah menjadi lembut terhadapnya.”[12]
Kemudian beliau berkata:
((وحُسن الخلق أن يكون سهل
العريكة، لين الجانب، طليق الوجه، قليل النفور، طيب الكلمة))
“Akhlak yang baik adalah tabiat yang lentur, sikap yang
lembut, muka yang ramah, tidak banyak menghindar dan tutur kata yang baik.”[13]
Dalan surat Al-A’raf ayat 199, Allah Ta’ala berfirman:
{خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ }
Artinya: “Jadilah pemaaf, perintahlah dengan kebajikan
dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat terebut:
((هذه
الآية جامعة لحسن الخلق مع الناس، وما ينبغي في مُعامَلَتهم، فالذي ينبغي أن يُعَامَل
به الناس، أن يأخذ العفو أي: ما سمحت به أنفسهم، وما سهل عليهم من الأعمال
والأخلاق، فلا يكلفهم ما لا تسمح به طبائعهم، بل يشكر من كل أحد ما قابله به، من
قول وفعل جميل، أو ما هو دون ذلك، ويتجاوز عن تقصيرهم ويَغُض طرفه عن نقصهم، ولا
يتكبر على الصغير لصغره، ولا ناقص العقل لنقصه، ولا الفقير لفقره، بل يعامل الجميع
باللطف والمقابلة بما تقتضيه الحال وتنشرح له صدورهم. {وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ} أي: بكل قول حسن وفعل جميل، وخلق كامل للقريب
والبعيد، فاجعل ما يأتي إلى الناس منك، إما تعليم علم، أو حث على خير، من صلة رحم،
أو بِرِّ والدين، أو إصلاح بين الناس، أو نصيحة نافعة، أو رأي مصيب، أو معاونة على
بر وتقوى، أو زجر عن قبيح، أو إرشاد إلى تحصيل مصلحة دينية أو دنيوية، ولما كان لا
بد من أذية الجاهل، أمر الله تعالى أن يقابل الجاهل بالإعراض عنه وعدم مقابلته
بجهله، فمن آذاك بقوله أو فعله لا تؤذه، ومن حرمك لا تحرمه، ومن قطعك فَصِلْهُ،
ومن ظلمك فاعدل فيه.))
“Ayat ini mencakup perihal berperilaku baik kepada
manusia dan cara muamalah yang pantas terhadap mereka. Cara muamalah yang
selayaknya terhadap manusia adalah ((mengambil sikap toleran)) yaitu (besikap)
sebatas apa yang bisa dan mudah mereka lakukan baik dalam perbuatan dan
perilaku sehingga jangan sampai membebani mereka dengan apa yang tidak sesuai
dengan tabiat mereka, bahkan dia mengapresiasi cara bersikap setiap orang terhadapnya
baik perbuatan dan ucapan yang indah ataupun selain itu serta mengacuhkan dan
memaklumi kekurangan mereka. Dia tidak bersombong terhadap anak kecil karena
usianya, orang yang kurang akal karena keadaannya, dan orang yang miskin karena
status sosialnya bahkan dia bergaul dengan mereka dengan lembut dan bersikap
sesuai tututan keadaan dan membuat hati mereka terasa lapang. ((Perintahlah
dengan kebajikan)) yaitu dengan setiap ucapan yang baik dan perbuatan yang
indah, akhlak yang sempurna terhadap yang dekat dan yang jauh. Maka lakukanlah
apa yang dibutuhkan manusia darimu, baik mengajarkan ilmu atau memotivasi
melakukan perbuatan yang baik seperti menyambung hubungan darah, berbakti
kepada kedua orang tua, nasihat yang bermanfaat, usulan yang tepat, saling
tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, mencegah perilaku buruk, serta
membimbing untuk memperoleh kemaslahatan agama dan dunia. Dan tatkala gangguan
orang jahil itu pasti datang maka Allah memerintahkan beliau untuk menghadapi orang
jahil tersebut dengan berpaling darinya dan tidak membalas kejahilannya, siapa
yang mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan janganlah kau ganggu dia, siapa
yang menghalangimu jangan halangi dia, siapa yang memutus hubungan denganmu
maka sambunglah dan siapa yang berlaku zhalim kepadamu maka berlaku adillah
terhadapnya.”
Sumber: Diterjemahkan dari kutayyib “Al-‘Ilmu Fadhluhu wa
Kaifiyyatu Thalabihi” dengan penyesuaian dan perubahan.
[1]
Shahih Muslim (1/428).
[2] Tadzkiratul
Huffazh, karya Adz-Dzahabi, (1/64).
[3] Al-Jami’ li
Akhlaqir Rawi wa Aadabis Sami’, Al-Khathib Al-Baghdadi, (2/174).
[4] Idem.
[5] Adabud Dun-ya wad
Din, hal.287.
[6] Al-Faqih wal
Mutafaqqih, Al-Khathib Al-Baghdadi, (2/186).
[7] Al-Faqih wal
Mutafaqqih, (2/184).
[8] Al-Jami’ li
Akhlaqir Rawi wa Aadabis Sami’, Al-Khathib Al-Baghdadi, (2/179).
[9] Kitab Shaidul
Khathir.
[10] Maqamat Al-Hariri
dan kitab ‘Awa-iquth Thalab, karya Al-Barjas.
[11] Hadits hasan,
diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya (9696).
[12] Adabud Dun-ya wad Din,
hal.243.
[13] Idem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar