Minggu, 01 Februari 2015

Adab-Adab Menuntut Ilmu (Bag.3)



 4) Adab yang Keempat: Sabar
Allah Ta’ala berfirman:
{وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ}
Artinya: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar dan yakin terhadap ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah:24)

Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitab Miftah Daris Sa’adah bahwa beliau mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
((بالصبر واليقين تنال الإمامة فى الدين))
“Dengan kesabaran dan keyakinan, akan diraih kepemimpinan dalam agama.”

Allah Ta’ala berfirman:
{وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ}  
Artinya: “Dan bersabarlah (wahai Muhammad), dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl:127)

{وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ}
Artinya: “Dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal:46)

{ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
Artinya: “Hanya orang-orang sabar yang akan dipenuhi pahala mereka tanpa perhitungan.” (QS. Az-Zumar:10)

>> Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Yahya bin Abi Katsir beliau berkata: “Aku mendengar ayahku mengatakan:
((لا يستطاع العلم براحة الجسم))
‘Ilmu tidak akan didapat dengan tubuh yang santai’.”[1]

>>Imam Asy-Sya’bi ditanya:
))من أين لك هذا العلم كله ؟((
“Dari mana engkau mendapatkan semua ilmu ini?”
Beliaupun menjawab:
((بنفي الاعتماد ، والسير في البلاد ، وصبر كصبر الجماد ، وبكور كبكور الغراب))
“Dengan tanpa bersandar (kepada orang lain), bersafar di belahan negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, bersegera seperti bersegeranya burung gagak.”[2]

>>Abu Ahmad Nashr bin Ahmad Al-‘Iyadhi (faqih dari Samarkand, Uzbekistan) berkata:
((لا ينال هذا العلم إلا من عطل دكانه وخرب بستانه وهجر إخوانه ومات أقرب أهله إليه فلم يشهد جنازته ))
“Tidak akan memperoleh ilmu ini kecuali orang yang mengosongkan tokonya, merusak kebunnya, meninggalkan saudara-saudaranya dan ketika meninggal kerabat terdekatnya dia tidak bisa menyaksikan jenazahnya.”[3]

>>Abu Yusuf Al-Qadhi berkata:
((العلم شيء لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك وأنت إذا أعطيته كلك من إعطائه البعض على غرر))
“Ilmu adalah sesuatu yang tidak memberikan kepadamu sebagiannya hingga engkau memberikan untuknya seluruh dirimu, dan jika engkau telah memberikan seluruh dirimu untuknya engkau akan segera mendapatkan sebagiannya lagi.”[4]

>>Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata:
((الصّبر مطيّة لا تكبو))
“Sabar adalah tunggangan yang tidak pernah terjatuh.”[5]

>>Imam Asy-Syafi’I berkata:
((لا يدرك العلم إلا بالصبر على الضر ))
“Ilmu tidak akan didapat kecuali dengan bersabar atas gangguan.”[6]

>>Beliau juga berkata:
(( لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح ، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح))
“Tidaklah seseorang menuntut ilmu ini dengan kekuasaan dan hati yang tinggi (keangkuahan) akan berhasil, akan tetapi siapa yang mencarinya dengan kerendahan hati dan kesempitan hidup serta melayani ulama maka dia akan berhasil.”[7]

>>Tsa’lab berkata:
(( كان رجل يطلب العلم فلا يقدر عليه ، فعزم على تركه ، فمر بماء ينحدر من رأس جبل على صخرة ، قد أثر الماء فيها ، فقال : الماء على لطافته قد أثّر في صخرة على كثافتها ، والله لأطلبن العلم . فطلب فأدرك))
“Dulu ada seseorang menuntut ilmu akan tetapi tidak sanggup sehingga dia bertekad meninggalkannya, lalu diapun melewati air yang turun dari puncak gunung mengenai sebuah batu, air itu telah menimbulkan bekas pada batu, maka diapun berkata:
‘Air ini dengan kelembutannya mampu memberikan bekas pada batu yang tebal. Demi Allah, aku akan benar-benar menuntut ilmu.’ Akhirnya diapun menuntut ilmu dan berhasil.”[8]

>>Imam Ibnul Jauzi menjelaskan:
(( تأملت عجبًا، وهو أن كل شيء نفيس خطير يطول طريقه، ويكثر التعب في تحصيله. فإن العلم لما كان أشرف الأشياء، لم يحصل إلا بالتعب والسهر والتكرار، وهجر اللذات والراحة، حتى قال بعض الفقهاء: بقيت سنين أشتهي الهريسة  لا أقدر؛ لأن وقت بيعها وقت سماع الدرس!))
“Aku telah merenungkan sesuatu yang ajaib, yaitu segala sesuatu yang berharga dan besar tentu jalannya panjang dan sangat melelahkan dalam memperolehnya. Jadi, karena ilmu itu adalah sesuatu yang paling mulia tentu tidak akan diperoleh kecuali dengan kelelahan, bergadang dan berulang-ulang, serta meninggalkan kelezatan dan kesantaian. Sampai-sampai sebagian ahli fikih berkata: ‘Aku telah menetap bertahun-tahun, aku sangat ingin memakan ‘harisah’ (nama jenis makanan yang rasanya manis)  tapi tidak bisa, karena waktu penjualannya bertepatan waktu menyimak pelajaran!’.”[9]

>>Seorang laki-laki bertanya kepada salah seorang ulama:
((بم أدركت العلم ؟))
 “Bagaimana engkau mendapatkan ilmu?” Beliaupun menjawab:
طلبته فوجدته بعيد المراد ، لا يصاد بالسهام ، ولا يرى في المنام ،ولا يورث عن الآباء والأعمام . فتوسلت إليه بافتراش المدرِ ، واستناد الحجر ، وإدمان السهر وكثرة النظر ، وإعمال الفكر ومتابعة السفر ، وركوب الخطر : فوجدته شيئاً لا يصلح إلا للغرس ولا يغرس إلا في النفس ، ولا يسقي إلا بالدرس . أرأيت من يشغل نهاره بالجمع ، وليله بالجماع هل يخرج من ذلك فقيهاً ؟ كلا والله . إن العلم لا يحصل إلا لمن اعتضد الدفاتر ، وحمل المحابر ، وقطع القفار ، وواصل في الطلب الليل والنهار))
“Kucari ilmu itu lalu kutemukan jauh dari yang diinginkan. Ilmu itu tidak diburu dengan panah, tidak terlihat dalam mimpi, tidak pula diwarisi dari ayah dan paman. Lalu akupun mencoba meraihnya dengan duduk di atas tanah liat, bersandar pada batu, suka bergadang, banyak penelitian, mempekerjakan pikiran, mengikuti perjalanan, dan menaiki rintangan. Akupun akhirnya mendapati bahwa ilmu itu sesuatu yang tak layak kecuali untuk ditanam, tidak ditanam kecuali dalam jiwa, dan tidak disirami kecuali dengan pelajaran. Apa pendapatmu tentang orang yang menyibukkan siangnya dengan jamak (mengumpulkan ilmu) dan malamnya sibuk dengan jimak? Apakah dia akan menjadi seorang yang faqih? Sekali-kali tidak, demi Allah. Sesungguhnya ilmu itu tidak akan diperoleh kecuali oleh orang yang memangku banyak buku tulis, membawa tempat-tempat tintah, melewati dataran tandus, serta berkesinambungan dalam menuntut ilmu siang dan malam.”[10]


5) Adab yang Kelima: Akhlak yang Baik
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya tentang sesuatu yang paling berat di timbangan, beliau menjawab:
)(تقوى الله وحسن الخُلق)(
“Takwa kepada Allah dan baiknya akhlak.”[11]

Maka, seorang penuntut ilmu mesti membiasakan dirinya untuk berakhlak mulia, berhasrat untuk mencapai keutamaan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur serta menjauhi perilaku buruk yang rendahan.

Al-Mawardi berkata:
((إذا حَسُنَت أخلاقِ الإنسان كثر مُصافوه، وقَلَّ مُعادوه، فتسهلت عليه الأمور الصِّعاب، ولانَت له القلوبُ الغضاب))
“Jika seseorang berakhlak baik maka akan banyak sahabatnya dan sedikit musuhnya sehingga segala perkara sulit menjadi mudah baginya dan semua hati yang marah menjadi lembut terhadapnya.”[12]
Kemudian beliau berkata:
((وحُسن الخلق أن يكون سهل العريكة، لين الجانب، طليق الوجه، قليل النفور، طيب الكلمة))
“Akhlak yang baik adalah tabiat yang lentur, sikap yang lembut, muka yang ramah, tidak banyak menghindar dan tutur kata yang baik.”[13]

Dalan surat Al-A’raf ayat 199, Allah Ta’ala berfirman:
{خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ }
Artinya: “Jadilah pemaaf, perintahlah dengan kebajikan dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat terebut:
((هذه الآية جامعة لحسن الخلق مع الناس، وما ينبغي في مُعامَلَتهم، فالذي ينبغي أن يُعَامَل به الناس، أن يأخذ العفو أي: ما سمحت به أنفسهم، وما سهل عليهم من الأعمال والأخلاق، فلا يكلفهم ما لا تسمح به طبائعهم، بل يشكر من كل أحد ما قابله به، من قول وفعل جميل، أو ما هو دون ذلك، ويتجاوز عن تقصيرهم ويَغُض طرفه عن نقصهم، ولا يتكبر على الصغير لصغره، ولا ناقص العقل لنقصه، ولا الفقير لفقره، بل يعامل الجميع باللطف والمقابلة بما تقتضيه الحال وتنشرح له صدورهم. {وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ} أي: بكل قول حسن وفعل جميل، وخلق كامل للقريب والبعيد، فاجعل ما يأتي إلى الناس منك، إما تعليم علم، أو حث على خير، من صلة رحم، أو بِرِّ والدين، أو إصلاح بين الناس، أو نصيحة نافعة، أو رأي مصيب، أو معاونة على بر وتقوى، أو زجر عن قبيح، أو إرشاد إلى تحصيل مصلحة دينية أو دنيوية، ولما كان لا بد من أذية الجاهل، أمر الله تعالى أن يقابل الجاهل بالإعراض عنه وعدم مقابلته بجهله، فمن آذاك بقوله أو فعله لا تؤذه، ومن حرمك لا تحرمه، ومن قطعك فَصِلْهُ، ومن ظلمك فاعدل فيه.))
“Ayat ini mencakup perihal berperilaku baik kepada manusia dan cara muamalah yang pantas terhadap mereka. Cara muamalah yang selayaknya terhadap manusia adalah ((mengambil sikap toleran)) yaitu (besikap) sebatas apa yang bisa dan mudah mereka lakukan baik dalam perbuatan dan perilaku sehingga jangan sampai membebani mereka dengan apa yang tidak sesuai dengan tabiat mereka, bahkan dia mengapresiasi cara bersikap setiap orang terhadapnya baik perbuatan dan ucapan yang indah ataupun selain itu serta mengacuhkan dan memaklumi kekurangan mereka. Dia tidak bersombong terhadap anak kecil karena usianya, orang yang kurang akal karena keadaannya, dan orang yang miskin karena status sosialnya bahkan dia bergaul dengan mereka dengan lembut dan bersikap sesuai tututan keadaan dan membuat hati mereka terasa lapang. ((Perintahlah dengan kebajikan)) yaitu dengan setiap ucapan yang baik dan perbuatan yang indah, akhlak yang sempurna terhadap yang dekat dan yang jauh. Maka lakukanlah apa yang dibutuhkan manusia darimu, baik mengajarkan ilmu atau memotivasi melakukan perbuatan yang baik seperti menyambung hubungan darah, berbakti kepada kedua orang tua, nasihat yang bermanfaat, usulan yang tepat, saling tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, mencegah perilaku buruk, serta membimbing untuk memperoleh kemaslahatan agama dan dunia. Dan tatkala gangguan orang jahil itu pasti datang maka Allah memerintahkan beliau untuk menghadapi orang jahil tersebut dengan berpaling darinya dan tidak membalas kejahilannya, siapa yang mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan janganlah kau ganggu dia, siapa yang menghalangimu jangan halangi dia, siapa yang memutus hubungan denganmu maka sambunglah dan siapa yang berlaku zhalim kepadamu maka berlaku adillah terhadapnya.”



Sumber: Diterjemahkan dari kutayyib “Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Kaifiyyatu Thalabihi” dengan penyesuaian dan perubahan.



[1] Shahih Muslim (1/428).
[2] Tadzkiratul Huffazh, karya Adz-Dzahabi, (1/64).
[3] Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Aadabis Sami’, Al-Khathib Al-Baghdadi, (2/174).
[4] Idem.
[5] Adabud Dun-ya wad Din, hal.287.
[6] Al-Faqih wal Mutafaqqih, Al-Khathib Al-Baghdadi, (2/186).
[7] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (2/184).
[8] Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Aadabis Sami’, Al-Khathib Al-Baghdadi, (2/179).
[9] Kitab Shaidul Khathir.
[10] Maqamat Al-Hariri dan kitab ‘Awa-iquth Thalab, karya Al-Barjas.
[11] Hadits hasan, diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya (9696).
[12] Adabud Dun-ya wad Din, hal.243.
[13] Idem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar