Jumat, 19 Mei 2017

FIKIH PUASA (1)



(Kajian berdasarkan penjelasan Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam An-Nawawi dan Kitab Mughnil Muhtaj karya Al-Khathib Asy-Syarbini)

كتاب الصيام

Ash-Shaum (puasa) menurut bahasa Arab maknanya adalah Al-Imsak (menahan). Di antara yang menunjukkan makna bahasa ini adalah perkataan Maryam dalam QS.  Maryam: 26. Allah Ta’ala berfirman:
(( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ))
Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".”

Menurut istilah syar’i, puasa adalah:
إمساك عن المفطر على وجه مخصوص.
Menahan diri dari pembatal puasa dengan suatu cara yang dikhususkan. Waktunya dari terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari di ufuk barat.

Dalil diwajibkannya puasa:
Dalam Al-Qu`ranul Karim: QS. Al-Baqarah: 183 dan 185.
(( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ))
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ))
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”

Hadits tentang Rukun Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، والحج، وصوم رمضان.
“Islam dibangun di atas lima pondasi:  Syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan puasa Ramadhan.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Dan ijma' Ulama yang qath'i menetapkan bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib, maka siapa yang mengingkari kewajibannya dia murtad.

- Ibadah puasa diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua setelah hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wasallam ke Madinah.

- Rukun puasa ada tiga:
1. Orang yang berpuasa
2. Niat
3. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.


# Imam An-Nawawi dalam Minhajuth Thalibin berkata:
يجب صوم رمضان بإكمال شعبان ثلاثين أو رؤية الهلال. وثبوت رؤيته بعدل وفي قول: عدلان. وشرط الواحد صفة العدول في الأصح لا عبد وامرأة. 
“Wajib puasa Ramadhan dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari atau ru`yah hilal. Ru`yah tersebut tetap dengan satu orang yang adil, sedangkan dalam satu pendapat: dua orang yang adil. Syarat satu orang saksi adalah sifat adil menurut pendapat yang lebih shahih, bukan hamba sahaya dan juga perempuan”.

@ Penjelasan:
Masalah pertama:

Penetapan bulan Ramadhan dengan dua cara:
1. Dengan melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban, malam 30 Sya’ban. Jika terlihat maka besok harinya adalah awal bulan puasa. Dan dengan demikian bulan Sya’ban berjumlah 29 hari.
2. Jika tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, dan setelahnya dihitung awal bulan puasa.
Karena bulan dalam kalender Hijriyyah itu berkisar antara 29 dan 30 hari.
Dalilnya: Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam besabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين.
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi dari melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari”.
Dalam Hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Muslim dengan redaksi:
... فصوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين.
“Maka berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Jika tidak tertutupi atas kalian maka tetapkan bulan tersebut menjadi tiga puluh hari”.
Dan dalam redaksi Ibnu Hibban:
لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له.
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal dan jangan berbuka hingga kalian melihatnya. Jika terhalangi atas kalian maka perkirakanlah”.

Masalah kedua:
Hilal bulan Ramadhan ditetapkan dengan cukup persaksian satu orang yang adil saja, berbeda dengan hilal bulan Syawwal yang harus disaksikan oleh dua orang yang adil.
Ini berdasarkan qaul qadim Imam Asy-Syafi’i. Adapun menurut qaul jadid beliau, ditetapkan dengan persaksian dua orang yang adil.
Dan yang mu’tamad menurut Ulama Syafi’iyyah adalah pendapat yang pertama karena hadits-hadits yang menyebutkan bahwa  Rasulullah menerima persaksian satu orang dalam hilal Ramadhan derajatnya shahih.
- Hadits Ibnu ‘Abbas
عن ابن عباس، قال: جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أبصرت الهلال الليلة، فقال: «أتشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله؟» قال: نعم، قال: «قم يا بلال فأذن في الناس أن يصوموا غدا».
Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Seorang arab badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam  lalu berkata: Aku telah melihat hilal malami ini. Maka Rasulullah bertanya: ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah?” Dia menjawab: Ya. Rasulullah pun bersabda: “Wahai bilal, bangkilah lalu umumkanlan kepada orang-orang agar mereka berpuasa besok”.
HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan sanad yang mursal.
Di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Simak bin Harb, dia perawi yang shaduq hanya saja riwayatnya dari ‘Ikrimah mudhtharib, dan yang rajih menurut sejumlah Ahli Hadits adalah riwayat yang mursal.
Dengan alasan ini Imam Asy-Syafi’i berpendapat dengan qaul jadid beliau. Hanya saja, riwayat di atas dikuatkan oleh Hadits Ibnu ‘Umar:
 عن ابن عمر قال: ترائى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم، أني رأيته فصامه، وأمر الناس بصيامه.
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Orang-orang mencari-cari (melihat) hilal, maka aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bahwa aku telah melihatnya maka beliaupun berpuasa dengan hilal tersebut dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan lainnya dengan sanad shahih.
Tambahan: Jika hilal disaksikan satu atau dua orang yang adil sedangkan hisab falak menetapkan ketidakmungkinan melihat hilal pada waktu tersebut maka yang mu’tamad dalam Madzhab adalah persaksian tetap diterima karena hisab tidak mu’tabar dalam penetapan awal puasa dan hari raya.

Masalah ketiga:
Syarat persaksian orang yang melihat hilal Ramadhan:
1. Tidak disyaratkan jumlahnya dua orang, cukup satu orang saja bersaksi dihadapan qadhi/hakim berdasarkan yang mu’tamad dari dua pendapat Imam Asy-Syafi’i.
Dan hikmah diterimanya persaksian satu orang adalah untuk kehati-hatian terhadap ibadah puasa, karena lebih dekat kepada bara`atudz dzimmah.
2. Disyaratkan yang bersaksi memiliki sifat Al-‘Adalah, yaitu orang yang adil agamanya. Dan sifat Al-‘Adalah di sini maksudnya ‘Adalah Hissiyyah Zhahirah (yang nampak zhahir) bukan ‘Adalah Bathinah (tersembunyi).
3. Disyaratkan yang memberi saksi adalah orang yang merdeka, bukan budak dan laki-laki, bukan perempuan.


# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا صمنا بعدل ولم نر الهلال بعد ثلاثين أفطرنا في الأصح وإن كانت السماء مصحية.
“Dan jika kita berpuasa dengan persaksian satu orang dan kita tidak melihat hilal setelah tiga puluh hari maka kita berbuka menurut pendapat yang lebih shahih, meskipun langit dalam keadaan cerah”.

@ Penjelasan:
Masalah: Awal Ramadhan dan awal Syawwal berdasarkan hilal yang terlihat. Jika ternyata hilal tidak terlihat padahal langit dalam keadaan cerah dan tidak ada menghalanginya sedangkan sudah genap 30 hari maka besoknya dihukumi hari berbuka/hari raya, karena bulan hijri maksimalnya 30 hari sehingga serupa dengan penetapan awal Syawwal dengan dua orang saksi.
Menurut pendapat lain dalam madzhab, tidak boleh berbuka karena hal itu berarti menetapkan awal Syawwal hanya berdasarkan persaksian satu orang dan hukumnya tidak boleh.

Masalah lain: Jika kita memulai puasa dengan persaksian satu orang yang adil kemudian orang tersebut rujuk dari persaksiannya (menarik persaksiannya) pada pertengahan hari pertama puasa.
Menurut pendapat pertama dalam madzhab: Puasa menjadi tidak lazim (harus diteruskan) seperti halnya jika saksi menarik ucapannya sebelum adanya keputusan hukum.
Pendapat kedua: Tetap harus puasa, karena keputusan hukum dengan persaksiannya sudah berjalan/berlangsung sehingga tidak dibatalkan. Menurut Imam Al-Adzra’i, pendapat kedua yang lebih mendekati kebenaran, sebagaimana yang disebutkan dalam Mughnil Muhtaj.


# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا رؤى ببلد لزم حكمه البلد القريب دون البعيد في الأصح ومسافة البعيد مسافة القصر وقيل: باختلاف المطالع. قلت: هذا أصح والله أعلم.
“Jika terlihat hilal di suatu negeri maka hukumnya juga berlaku untuk negeri yang dekat dengannya, tidak untuk negeri yang jauh. Jarak negeri jauh ukurannya jarak diperbolehkannya men-qashar shalat. Menurut pendapat yang lain, berdasarkan perbedaan mathli’/mathla’ hilal. Menurutku, ini yang lebih shahih, wallahu a’lam”.

@ Penjelasan:
Masalah pertama: Jika di suatu negeri terlihat hilal maka apakah hal tersebut juga berlaku untuk negeri yang lain?
Pendapat pertama: Hal tersebut berlaku untuk negeri yang dekat saja. Inilah pendapat yang lebih shahih menurut Imam An-Nawawi.
Dicontohkan negeri yang berdekatan seperti Baghdad dan Kufah, Damaskus dan Aleppo. Alasannya karena daerah-daerah ini dianggap seperti satu negeri.
Pendapat kedua dalam madzhab: Berlaku juga untuk negeri jauh.
Dicontohkan negeri yang berjauhan seperti Hijaz dan ‘Iraq, Kairo dan Damaskus; karena masing daerah/kota tersebut tidak dianggap satu negeri. Inti dari pendapat kedua ini, selama satu mathli’/mathla’ sekalipun negeri-negeri tersebut berjauhan maka tetap berlaku hilalnya.

Masalah kedua: Batasan jarak jauh dan dekatnya suatu negeri:
Pendapat pertama: Berdasarkan jarak diperbolehkan qashar shalat bagi musafir.
Pendapat kedua: Berdasarkan perbedaan mathla’ (muncul/terbit) hilal. Dan inilah yang lebih shahih menurut An-Nawawi, karena urusan hilal tidak ada keterkaitan dengan jarak qashar. Dalilnya:
Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan:
عن كريب، أن أم الفضل بنت الحارث، بعثته إلى معاوية بالشام، قال: فقدمت الشام، فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيته؟ فقلت: نعم، ورآه الناس، وصاموا وصام معاوية، فقال: " لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين، أو نراه، فقلت: أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ".
Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl mengutusnya mendatangi Mu’awiyah di Syam, dia bercerita: Aku pun tiba di Syam dan menunaikan hajatnya Ummul Fadhl. Bulan Ramadhan tiba di saat aku masih di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku mendatangi Madianah di akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku tentang kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab: Kami melihatnya malam Jum’at. Beliau bertanya: Kamu melihatnya? Aku menjawab: Ya dan orang-orang juga melihatnya, mereka puasa dan Mu’awiyah puasa. Lalu beliau berkata: Akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, dan seterusnya kami berpuasa hingga menggenapkan menjadi tiga puluh hari atau kami melihat hilal. Akupun bertanya: Tidakkah kamu mencukupkan dengan ru`yah dan puasa Mu’awiyah? Beliau menjawab: Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan kami.

Catatan:
- Dalam masalah Ittihad dan Ikhtilaf Mathali’, secara garis besar ada dua pendapat Ulama Ahli Fikih:
Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa setiap negeri punya mathla’ tersendiri. Dalilnya adalah Hadits Kuraib di atas.
Kedua: Pendapat yang menetapkan ittihadul mathali’. Dalilnya keumuman khithab melihat hilal untuk seluruh kaum muslimin, sehingga jika di suatu negeri hilal sudah terlihat maka hal tersebut juga berlaku untuk seluruh negeri tanpa melihat jauh atau dekatnya. Adapun Hadits Kuraib di atas maka tidak bertentangan, karena Hadits Kuraib dibawa kepada makna bahwa berita terlihatnya hilal di Syam tidak sampai ke Hijaz, sehingga dalam kondisi seperti ini masing-masing negeri berpatokan pada hilal yang dilihatnya.
- Pendapat Ittihadul Mathali’ adalah pendapat yang cukup kuat, hal ini mungkin dipraktekkan di masa sekarang jika kaum muslimin dari berbagai Negara bisa bersepakat untuk memutuskan hal tersebut atau jika seluruh kaum muslimin di belahan dunia di bawah pemerintahan Islam yang satu (Khilafah Islamiyyah). Namun mengingat dua hal tersebut tidak terwujud, maka afdhalnya berpegang pada Hadits Kuraib.
- Penentuan masalah ittihad dan ikhtilaf mathali’ mungkin berpatokan dengan penjelasan ilmu astronomi, karena tidak ada nash yang menentang hal tersebut.


# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا لم نوجب على البلد الآخر فسافر إليه من بلد الرؤية فالأصح أنه يوافقهم في الصوم آخرا ومن سافر من البلد الآخر إلى بلد الرؤية عيد معهم وقضى يوما ومن أصبح معيدا فسارت سفينته إلى بلدة بعيدة أهلها صيام فالأصح أنه يمسك بقية اليوم.
“Dan jika tidak kita wajibkan (hilal yang terlihat pada suatu negeri) pada negeri yang lain lalu salah seorang dari negeri tersebut bersafar ke negeri yang tidak terlihat hilal, maka menurut pendapat yang lebih shahih, dia mengikuti puasa penduduk negeri tersebut di akhirnya. Siapa yang bersafar menuju negeri yang hilalnya terlihat maka dia berhari raya bersama penduduk negeri tersebut dan mengqadha` satu hari puasa. Dan jika seseorang (di negerinya) telah berhari raya lalu dia berjalan dengan kapalnya menuju negeri jauh yang penduduknya masih puasa maka menurut pendapat yang lebih shahih, dia  menahan diri pada sisa hari tersebut”.

@ Penjelasan:
Masalah pertama: Jika seseorang tinggal di suatu negeri atau daerah yang hilalnya terlihat  kemudian dia bersafar menuju negeri yang di sana hilalnya tidak terlihat, apa yang harus dia lakukan?
Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab, dia harus mengikuti akhir puasa penduduk negeri tersebut, bahkan sekalipun dia sudah berpuasa selama 30 hari. Ta’lilnya (alasannya) karena dengan berpindah ke negeri tersebut dia menjadi salah satu penduduknya sehingga hukum penduduknya menjadi belaku untuk dirinya.
Pendapat kedua dalam madzhab menyatakan bahwa jika dia sudah berpuasa 30 hari maka dia harus berbuka. Alasannya karena hukum yang berlaku untuknya adalah hukum negeri pertama yang di sana terlihat hilal, tempat dia memulai puasa; sehingga hukum tersebut terus berlanjut walaupun dia sudah pergi darinya.

Masalah kedua: Jika seseorang bersafar dari negeri yang tidak terlihat hilalnya menuju negeri yang hilalnya terlihat maka dia berbuka (hari raya) bersama penduduk negeri tersebut. Meskipun dia berpuasa hanya 28 hari saja misalnya karena penduduk negeri yang terlihat hilalnya tersebut berpuasa 29 hari. Dalam kondisi ini, berarti dia harus mengqadha` satu hari di lain waktu sebab satu bulan Ramadhan itu minimalnya 29 hari dan maksimalnya 30 hari. Adapun jika puasanya menjadi 29 hari karena penduduk tersebut berpuasa genap 30 hari maka dia tidak perlu mengqadha` satu hari puasa.

Masalah ketiga: Jika seseorang berada di suatu negeri dalam keadaan berhari raya lalu dia bersafar menuju negeri lain yang jauh dan penduduknya masih berpuasa.
Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab, wajib atasnya menahan diri di waktu yang tersisa dari hari tersebut dalam rangka mengikuti hukum penduduk negeri tersebut.
Pendapat kedua dalam madzhab mengatakan bahwa dia tidak wajib menahan diri pada saat tersebut.
Contoh permasalahan ini: Seseorang tinggal di negeri yang puasanya 29 hari karena hilal Syawwal terlihat lalu saat tiba hari raya di negerinya tersebut dia bersafar menuju negeri yang di sana tidak terlihat hilal Syawwal sehingga penduduknya menggenapkan puasa menjadi 30 hari.
Ta’lil pendapat pertama: Seperti yaumusy syakk, jika pada pertengahan harinya ternyata hilal terbukti sah telah terlihat dengan adanya persaksian maka pada kondisi ini wajib menahan diri di waktu yang masih tersisa dari hari tersebut. Ini pendapat Imam Ar-Rafi’i.
Ta’lil pendapat kedua: Seperti orang kafir yng masuk Islam, orang gila yang kembali sadar dan anak yang baligh di pertengahan hari pada bulan puasa tidak wajib bagi mereka menahan diri di waktu tersisa dari hari tersebut menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab. Ini pendapat Imam As-Subki.

FAIDAH:
Abu Dawud dalam Sunan-nya meriwayatkan:
عن قتادة، أنه بلغه: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا رأى الهلال قال: "هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، آمنتُ بالذي خلقَكَ" ثلاث مرات، ثم يقول: "الحمدُ للهِ الذي ذهبَ بشهرِ كذا، وجاءَ بشهرِ كذا".
Dari Qatadah, telah sampai kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam jika melihat hilal maka beliau mengucapkan: “Hilal kebaikan dan kelurusan, hilal kebaikan dan kelurusan, hilal kebaikan dan kelurusan”, “Aku beriman terhadap Yang telah menciptakanmu”, sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah membawa pergi bulan demikian dan membawa datang bulan demikian”.
Perawi sanad hadits ini semuanya tsiqah, hanya saja mursal karena Qatadah tidak menyebutkan perawi Shahabi yang meriwayatkannya dari Rasulullah. Hadits ini dihukumi hasan lighairihi dengan adanya Syawahid oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
Dalam beberapa redaksi, seperti yang diriwayatkan Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam terlebih dahulu ber-Takbir sebanyak tiga kali sebelum mengucapkan hal di atas.
Ibnu Hibban dan juga Ad-Darimi meriwayatkan:
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam jika melihat hilal beliau mengucapkan: “Ya Allah, munculkanlah hilal kepada kami dengan rasa aman dan keimanan, keselamatan dan penyerahan, serta taufik terhadap apa yang Engkau cintai dan ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Allah”.
Dalam sanad Hadits ini ada kelemahan, dan dihukumi shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.

Wallahu a’lamu bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar