(Kajian berdasarkan
penjelasan Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam An-Nawawi dan Kitab Mughnil
Muhtaj karya Al-Khathib Asy-Syarbini)
كتاب الصيام
Ash-Shaum (puasa) menurut
bahasa Arab maknanya adalah Al-Imsak (menahan). Di antara yang menunjukkan makna
bahasa ini adalah perkataan Maryam dalam QS.
Maryam: 26. Allah Ta’ala berfirman:
(( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ
الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ
أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ))
Artinya:
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang
manusia, maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk
Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusiapun pada hari ini".”
Menurut istilah syar’i, puasa
adalah:
إمساك عن المفطر على وجه مخصوص.
Menahan diri dari pembatal
puasa dengan suatu cara yang dikhususkan. Waktunya dari terbit fajar shadiq
hingga terbenamnya matahari di ufuk barat.
Dalil diwajibkannya puasa:
Dalam Al-Qu`ranul Karim: QS.
Al-Baqarah: 183 dan 185.
(( يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ))
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ))
Artinya:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu.”
Hadits tentang Rukun Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi
wasallam bersabda:
بني
الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة،
وإيتاء الزكاة، والحج، وصوم رمضان.
“Islam dibangun di atas lima pondasi: Syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, berhaji, dan puasa Ramadhan.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.Dan ijma' Ulama yang qath'i menetapkan bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib, maka siapa yang mengingkari kewajibannya dia murtad.
- Ibadah puasa diwajibkan
pada bulan Sya’ban, tahun kedua setelah hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi
wasallam ke Madinah.
- Rukun
puasa ada tiga:
1. Orang yang berpuasa
2. Niat
3. Menahan diri dari hal-hal
yang membatalkan puasa.
# Imam An-Nawawi dalam
Minhajuth Thalibin berkata:
يجب
صوم رمضان بإكمال شعبان ثلاثين أو رؤية الهلال. وثبوت
رؤيته بعدل وفي قول: عدلان. وشرط الواحد صفة العدول في الأصح لا عبد وامرأة.
“Wajib puasa Ramadhan dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga
puluh hari atau ru`yah hilal. Ru`yah tersebut tetap dengan satu orang yang
adil, sedangkan dalam satu pendapat: dua orang yang adil. Syarat satu orang
saksi adalah sifat adil menurut pendapat yang lebih shahih, bukan hamba sahaya
dan juga perempuan”.
@ Penjelasan:
Masalah pertama:
Penetapan bulan Ramadhan dengan dua cara:
1. Dengan melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban, malam 30 Sya’ban. Jika
terlihat maka besok harinya adalah awal bulan puasa. Dan dengan demikian bulan Sya’ban berjumlah 29 hari.
2. Jika tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, dan
setelahnya dihitung awal bulan puasa.
Karena bulan dalam kalender Hijriyyah itu berkisar antara 29 dan 30 hari.
Dalilnya: Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim,
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam besabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة
شعبان ثلاثين.
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika
kalian terhalangi dari melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari”.
Dalam Hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Muslim dengan redaksi:
... فصوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته،
فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين.
“Maka berpuasalah karena
melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Jika tidak tertutupi atas
kalian maka tetapkan bulan tersebut menjadi tiga puluh hari”.
Dan dalam redaksi Ibnu
Hibban:
لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم
عليكم فاقدروا له.
“Janganlah kalian puasa
hingga melihat hilal dan jangan berbuka hingga kalian melihatnya. Jika
terhalangi atas kalian maka perkirakanlah”.
Masalah kedua:
Hilal bulan Ramadhan
ditetapkan dengan cukup persaksian satu orang yang adil saja, berbeda dengan hilal
bulan Syawwal yang harus disaksikan oleh dua orang yang adil.
Ini berdasarkan qaul
qadim Imam Asy-Syafi’i. Adapun menurut qaul jadid beliau, ditetapkan dengan
persaksian dua orang yang adil.
Dan yang mu’tamad
menurut Ulama Syafi’iyyah adalah pendapat yang pertama karena hadits-hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah
menerima persaksian satu orang dalam hilal Ramadhan derajatnya shahih.
- Hadits Ibnu ‘Abbas
عن ابن عباس، قال: جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم
فقال: أبصرت الهلال الليلة، فقال: «أتشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول
الله؟» قال: نعم، قال: «قم يا بلال فأذن في الناس أن يصوموا غدا».
Dari Ibnu ‘Abbas, dia
berkata: Seorang arab badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam lalu berkata: Aku telah melihat hilal malami
ini. Maka Rasulullah bertanya: ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah?” Dia menjawab:
Ya. Rasulullah pun bersabda: “Wahai bilal, bangkilah lalu umumkanlan kepada
orang-orang agar mereka berpuasa besok”.
HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi,
An-Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan sanad yang mursal.
Di dalam sanadnya ada
perawi yang bernama Simak bin Harb, dia perawi yang shaduq hanya saja
riwayatnya dari ‘Ikrimah mudhtharib, dan yang rajih menurut sejumlah Ahli
Hadits adalah riwayat yang mursal.
Dengan alasan ini Imam
Asy-Syafi’i berpendapat dengan qaul jadid beliau. Hanya saja, riwayat di atas
dikuatkan oleh Hadits Ibnu ‘Umar:
عن
ابن عمر قال: ترائى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم، أني رأيته
فصامه، وأمر الناس بصيامه.
Dari Ibnu ‘Umar, dia
berkata: Orang-orang mencari-cari (melihat) hilal, maka aku beritahukan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bahwa aku telah melihatnya maka
beliaupun berpuasa dengan hilal tersebut dan memerintahkan orang-orang untuk
berpuasa.” HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan lainnya dengan sanad
shahih.
Tambahan: Jika hilal disaksikan satu atau dua orang
yang adil sedangkan hisab falak menetapkan ketidakmungkinan melihat hilal pada
waktu tersebut maka yang mu’tamad dalam Madzhab adalah persaksian tetap
diterima karena hisab tidak mu’tabar dalam penetapan awal puasa dan hari raya.
Masalah ketiga:
Syarat persaksian orang
yang melihat hilal Ramadhan:
1. Tidak disyaratkan
jumlahnya dua orang, cukup satu orang saja bersaksi dihadapan qadhi/hakim
berdasarkan yang mu’tamad dari dua pendapat Imam Asy-Syafi’i.
Dan hikmah diterimanya
persaksian satu orang adalah untuk kehati-hatian terhadap ibadah puasa, karena
lebih dekat kepada bara`atudz dzimmah.
2. Disyaratkan yang
bersaksi memiliki sifat Al-‘Adalah, yaitu orang yang adil agamanya. Dan sifat
Al-‘Adalah di sini maksudnya ‘Adalah Hissiyyah Zhahirah (yang nampak zhahir)
bukan ‘Adalah Bathinah (tersembunyi).
3. Disyaratkan yang memberi
saksi adalah orang yang merdeka, bukan budak dan laki-laki, bukan perempuan.
# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا
صمنا بعدل ولم نر الهلال بعد ثلاثين أفطرنا في الأصح وإن كانت السماء مصحية.
“Dan jika kita berpuasa dengan persaksian satu orang dan kita
tidak melihat hilal setelah tiga puluh hari maka kita berbuka menurut pendapat
yang lebih shahih, meskipun langit dalam keadaan cerah”.
@ Penjelasan:
Masalah: Awal Ramadhan dan awal Syawwal berdasarkan
hilal yang terlihat. Jika ternyata hilal tidak terlihat padahal langit dalam
keadaan cerah dan tidak ada menghalanginya sedangkan sudah genap 30 hari maka
besoknya dihukumi hari berbuka/hari raya, karena bulan hijri maksimalnya 30
hari sehingga serupa dengan penetapan awal Syawwal dengan dua orang saksi.
Menurut pendapat lain dalam
madzhab, tidak boleh berbuka karena hal itu berarti menetapkan awal Syawwal
hanya berdasarkan persaksian satu orang dan hukumnya tidak boleh.
Masalah lain: Jika kita memulai puasa dengan persaksian
satu orang yang adil kemudian orang tersebut rujuk dari persaksiannya (menarik
persaksiannya) pada pertengahan hari pertama puasa.
Menurut pendapat pertama
dalam madzhab: Puasa menjadi tidak lazim (harus diteruskan) seperti halnya jika
saksi menarik ucapannya sebelum adanya keputusan hukum.
Pendapat kedua: Tetap harus puasa, karena keputusan hukum
dengan persaksiannya sudah berjalan/berlangsung sehingga tidak dibatalkan.
Menurut Imam Al-Adzra’i, pendapat kedua yang lebih mendekati kebenaran,
sebagaimana yang disebutkan dalam Mughnil Muhtaj.
# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا رؤى ببلد لزم حكمه البلد القريب دون
البعيد في الأصح ومسافة البعيد مسافة القصر وقيل: باختلاف المطالع. قلت: هذا أصح والله
أعلم.
“Jika terlihat hilal di suatu negeri maka hukumnya juga berlaku
untuk negeri yang dekat dengannya, tidak untuk negeri yang jauh. Jarak negeri
jauh ukurannya jarak diperbolehkannya men-qashar shalat. Menurut pendapat yang
lain, berdasarkan perbedaan mathli’/mathla’ hilal. Menurutku, ini yang lebih
shahih, wallahu a’lam”.
@ Penjelasan:
Masalah pertama: Jika di suatu negeri terlihat hilal maka
apakah hal tersebut juga berlaku untuk negeri yang lain?
Pendapat pertama: Hal tersebut berlaku untuk negeri yang dekat
saja. Inilah pendapat yang lebih shahih menurut Imam An-Nawawi.
Dicontohkan negeri yang
berdekatan seperti Baghdad dan Kufah, Damaskus dan Aleppo. Alasannya karena
daerah-daerah ini dianggap seperti satu negeri.
Pendapat kedua dalam madzhab: Berlaku juga untuk negeri
jauh.
Dicontohkan negeri yang
berjauhan seperti Hijaz dan ‘Iraq, Kairo dan Damaskus; karena masing
daerah/kota tersebut tidak dianggap satu negeri. Inti dari pendapat kedua ini,
selama satu mathli’/mathla’ sekalipun negeri-negeri tersebut berjauhan maka
tetap berlaku hilalnya.
Masalah kedua: Batasan jarak jauh dan dekatnya suatu
negeri:
Pendapat pertama: Berdasarkan jarak diperbolehkan qashar
shalat bagi musafir.
Pendapat kedua: Berdasarkan perbedaan mathla’
(muncul/terbit) hilal. Dan inilah yang lebih shahih menurut An-Nawawi, karena
urusan hilal tidak ada keterkaitan dengan jarak qashar. Dalilnya:
Imam Muslim dalam
Shahih-nya meriwayatkan:
عن كريب، أن أم الفضل بنت الحارث، بعثته إلى معاوية بالشام،
قال: فقدمت الشام، فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة
الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس رضي الله عنهما،
ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت
رأيته؟ فقلت: نعم، ورآه الناس، وصاموا وصام معاوية، فقال: " لكنا رأيناه ليلة
السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين، أو نراه، فقلت: أو لا تكتفي برؤية معاوية
وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ".
Dari Kuraib, bahwa Ummul
Fadhl mengutusnya mendatangi Mu’awiyah di Syam, dia bercerita: Aku pun tiba di
Syam dan menunaikan hajatnya Ummul Fadhl. Bulan Ramadhan tiba di saat aku masih
di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku mendatangi
Madianah di akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
bertanya kepadaku tentang kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab: Kami melihatnya
malam Jum’at. Beliau bertanya: Kamu melihatnya? Aku menjawab: Ya dan
orang-orang juga melihatnya, mereka puasa dan Mu’awiyah puasa. Lalu beliau
berkata: Akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, dan seterusnya kami berpuasa
hingga menggenapkan menjadi tiga puluh hari atau kami melihat hilal. Akupun
bertanya: Tidakkah kamu mencukupkan dengan ru`yah dan puasa Mu’awiyah? Beliau
menjawab: Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam
memerintahkan kami.
Catatan:
- Dalam masalah Ittihad dan
Ikhtilaf Mathali’, secara garis besar ada dua pendapat Ulama Ahli Fikih:
Pertama: Pendapat yang
mengatakan bahwa setiap negeri punya mathla’ tersendiri. Dalilnya adalah Hadits
Kuraib di atas.
Kedua: Pendapat yang
menetapkan ittihadul mathali’. Dalilnya keumuman khithab melihat hilal untuk
seluruh kaum muslimin, sehingga jika di suatu negeri hilal sudah terlihat maka
hal tersebut juga berlaku untuk seluruh negeri tanpa melihat jauh atau
dekatnya. Adapun Hadits Kuraib di atas maka tidak bertentangan, karena Hadits
Kuraib dibawa kepada makna bahwa berita terlihatnya hilal di Syam tidak sampai
ke Hijaz, sehingga dalam kondisi seperti ini masing-masing negeri berpatokan
pada hilal yang dilihatnya.
- Pendapat Ittihadul
Mathali’ adalah pendapat yang cukup kuat, hal ini mungkin dipraktekkan di masa
sekarang jika kaum muslimin dari berbagai Negara bisa bersepakat untuk memutuskan
hal tersebut atau jika seluruh kaum muslimin di belahan dunia di bawah pemerintahan
Islam yang satu (Khilafah Islamiyyah). Namun mengingat dua hal tersebut tidak
terwujud, maka afdhalnya berpegang pada Hadits Kuraib.
- Penentuan masalah ittihad
dan ikhtilaf mathali’ mungkin berpatokan dengan penjelasan ilmu astronomi,
karena tidak ada nash yang menentang hal tersebut.
# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا
لم نوجب على البلد الآخر فسافر إليه من بلد الرؤية فالأصح أنه يوافقهم في الصوم
آخرا ومن سافر من البلد الآخر إلى بلد الرؤية عيد معهم وقضى يوما ومن أصبح معيدا
فسارت سفينته إلى بلدة بعيدة أهلها صيام فالأصح أنه يمسك بقية اليوم.
“Dan jika tidak kita
wajibkan (hilal yang terlihat pada suatu negeri) pada negeri yang lain lalu
salah seorang dari negeri tersebut bersafar ke negeri yang tidak terlihat
hilal, maka menurut pendapat yang lebih shahih, dia mengikuti puasa penduduk
negeri tersebut di akhirnya. Siapa yang bersafar menuju negeri yang hilalnya
terlihat maka dia berhari raya bersama penduduk negeri tersebut dan mengqadha`
satu hari puasa. Dan jika seseorang (di negerinya) telah berhari raya lalu dia
berjalan dengan kapalnya menuju negeri jauh yang penduduknya masih puasa maka
menurut pendapat yang lebih shahih, dia
menahan diri pada sisa hari tersebut”.
@ Penjelasan:
Masalah pertama: Jika seseorang tinggal di suatu negeri atau
daerah yang hilalnya terlihat kemudian
dia bersafar menuju negeri yang di sana hilalnya tidak terlihat, apa yang harus
dia lakukan?
Menurut pendapat yang
lebih shahih dalam madzhab, dia harus mengikuti akhir puasa penduduk negeri
tersebut, bahkan sekalipun dia sudah berpuasa selama 30 hari. Ta’lilnya
(alasannya) karena dengan berpindah ke negeri tersebut dia menjadi salah satu
penduduknya sehingga hukum penduduknya menjadi belaku untuk dirinya.
Pendapat kedua dalam madzhab menyatakan bahwa jika dia
sudah berpuasa 30 hari maka dia harus berbuka. Alasannya karena hukum yang
berlaku untuknya adalah hukum negeri pertama yang di sana terlihat hilal,
tempat dia memulai puasa; sehingga hukum tersebut terus berlanjut walaupun dia
sudah pergi darinya.
Masalah kedua: Jika seseorang bersafar dari negeri yang
tidak terlihat hilalnya menuju negeri yang hilalnya terlihat maka dia berbuka
(hari raya) bersama penduduk negeri tersebut. Meskipun dia berpuasa hanya 28
hari saja misalnya karena penduduk negeri yang terlihat hilalnya tersebut
berpuasa 29 hari. Dalam kondisi ini, berarti dia harus mengqadha` satu hari di
lain waktu sebab satu bulan Ramadhan itu minimalnya 29 hari dan maksimalnya 30
hari. Adapun jika puasanya menjadi 29 hari karena penduduk tersebut berpuasa
genap 30 hari maka dia tidak perlu mengqadha` satu hari puasa.
Masalah ketiga: Jika seseorang berada di suatu negeri dalam
keadaan berhari raya lalu dia bersafar menuju negeri lain yang jauh dan penduduknya
masih berpuasa.
Menurut pendapat yang
lebih shahih dalam madzhab, wajib atasnya menahan diri di waktu yang
tersisa dari hari tersebut dalam rangka mengikuti hukum penduduk negeri
tersebut.
Pendapat kedua dalam madzhab mengatakan bahwa dia tidak wajib
menahan diri pada saat tersebut.
Contoh permasalahan ini:
Seseorang tinggal di negeri yang puasanya 29 hari karena hilal Syawwal terlihat
lalu saat tiba hari raya di negerinya tersebut dia bersafar menuju negeri yang
di sana tidak terlihat hilal Syawwal sehingga penduduknya menggenapkan puasa
menjadi 30 hari.
Ta’lil pendapat pertama:
Seperti yaumusy syakk, jika pada pertengahan harinya ternyata hilal terbukti
sah telah terlihat dengan adanya persaksian maka pada kondisi ini wajib menahan
diri di waktu yang masih tersisa dari hari tersebut. Ini pendapat Imam Ar-Rafi’i.
Ta’lil pendapat kedua:
Seperti orang kafir yng masuk Islam, orang gila yang kembali sadar dan anak
yang baligh di pertengahan hari pada bulan puasa tidak wajib bagi mereka
menahan diri di waktu tersisa dari hari tersebut menurut pendapat yang lebih
shahih dalam madzhab. Ini pendapat Imam As-Subki.
FAIDAH:
Abu Dawud dalam Sunan-nya
meriwayatkan:
عن
قتادة، أنه بلغه: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا رأى الهلال قال:
"هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، آمنتُ بالذي خلقَكَ"
ثلاث مرات، ثم يقول: "الحمدُ للهِ الذي ذهبَ بشهرِ كذا، وجاءَ بشهرِ كذا".
Dari Qatadah, telah sampai
kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam jika melihat hilal maka beliau
mengucapkan: “Hilal kebaikan dan kelurusan, hilal kebaikan dan kelurusan, hilal
kebaikan dan kelurusan”, “Aku beriman terhadap Yang telah menciptakanmu”,
sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang
telah membawa pergi bulan demikian dan membawa datang bulan demikian”.
Perawi sanad hadits ini semuanya
tsiqah, hanya saja mursal karena Qatadah tidak menyebutkan perawi Shahabi yang meriwayatkannya
dari Rasulullah. Hadits ini dihukumi hasan lighairihi dengan adanya Syawahid
oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
Dalam beberapa redaksi,
seperti yang diriwayatkan Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah disebutkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam terlebih dahulu ber-Takbir sebanyak tiga kali
sebelum mengucapkan hal di atas.
Ibnu Hibban dan juga
Ad-Darimi meriwayatkan:
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam jika melihat hilal beliau mengucapkan:
“Ya Allah, munculkanlah hilal kepada kami dengan rasa aman dan keimanan,
keselamatan dan penyerahan, serta taufik terhadap apa yang Engkau cintai dan
ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Allah”.
Dalam sanad Hadits ini ada
kelemahan, dan dihukumi shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar