Sabtu, 20 Mei 2017

FIKIH PUASA (2)



TENTANG RUKUN-RUKUN PUASA


(Kajian berdasarkan penjelasan Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam An-Nawawi dan Kitab Mughnil Muhtaj karya Al-Khathib Asy-Syarbini)


# Imam An-Nawawi berkata:
فصل
النية شرط للصوم ويشترط لفرضه التبييت والصحيح أنه لا يشترط النصف الآخر من الليل وأنه لا يضر الأكل والجماع بعدها وأنه لا يجب التجديد إذا نام ثم تنبه ويصح النفل بنية قبل الزوال وكذا بعده في قول والصحيح اشتراط حصول شرط الصوم من أول النهار ويجب التعيين في الفرض. وكماله في رمضان أن ينوي صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى وفي الأداء والفرضية والإضافة إلى الله تعالى الخلاف المذكور في الصلاة والصحيح أنه لا يشترط تعيين السنة.

@ Penjelasan:
Dalam pasal ini, Imam An-Nawawi mulai membahas tentang rukun-rukun puasa. Dan rukun-rukun puasa ada tiga sebagaimana yang sudah disebutkan.
Rukun Pertama: Niat
Dalam Madzhab Syafi’i, niat itu merupakan rukun dari Ibadah sehingga dilakukan beriringan dengan awal ibadah, bukan sebelum menjelang Ibadah seperti halnya pendapat tiga madzhab fikih lainnya. Adapun perkataan beliau di atas bahwa niat adalah syarat puasa maka maksudnya bahwa puasa itu tidak sah tanpa adanya niat, karena orang yang meninggalkan rukun tidak sah ibadahnya.
Niat tempatnya di hati, tidak cukup hanya dengan lisan dan tidak disyaratkan melafazkan niat. Melafazkan niat dengan lisan untuk membantu hati menghadirkan niat hukumnya hanya mustahab dalam Madzhab Syafi’i dan Jumhur Fuqaha (dan mereka ini tentunya bukan Ahlul BID’AH!).
Terkait niat puasa ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
1. At-Tabyit
Menyengaja puasa dilakukan pada malam hari, sebelum terbitnya fajar shadiq. Tidak disyaratkan melakukan niat setelah berlalunya pertengahan malam bahkan boleh di awal malam menurut pendapat yang shahih. Demikian juga, tidak perlu melakukan tajdid niat dalam satu malam; meskipun setelah berniat dia tidur  makan, minum, dan melakukan jima’.
Dalil wajibnya men-tabyit niat puasa Ramadhan:
“Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya”.
- Niat puasa dalam pendapat yang dishahihkan An-Nawawi tidak disyaratkan harus setelah pertengahan malam akhir, berdasarkan keumuman Hadits ini dan juga karena mensyaratkan hal tersebut mendatangkan masyaqqah (kesulitan). Menurut pendapat lain dalam madzhab, disyaratkan hal tersebut karena secara asal niat itu wajib beriringan dengan awal Ibadah.
- Dalam Madzhab, Tabyit diwajibkan untuk puasa wajib saja, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha`, puasa nadzar. Adapun puasa yang tidak wajib (puasa sunnah) maka boleh berniat di awal siang, sebelum zawal atau boleh juga setelah zawal menurut pendapat lain, selama dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan ibadah puasa. Imam An-Nawawi pada matan yang dikutip di atas menyebutkan:
والصحيح اشتراط حصول شرط الصوم من أول النهار...
Maksud dari syarat puasa di sini adalah hendaknya orang yang puasa sunnah tidak melakukan hal-hal yang menafikan kesahan puasanya, seperti makan dan minum misalnya, semenjak awal permualaan siang hari. Dan pendapat yang shahih ini dibangun atas dasar argumen bahwa puasa (menahan diri) itu harus mencakup keseluruhan siang hari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari, sehingga meskipun puasa sunnah tidak dihitung dari awal waktu ketika dia meniatkannya dalam hati tapi disyaratkan dia sudah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari mulai permulaan siang. Berbeda dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa puasa sunnah itu dihitung dari semenjak dia meniatkannya, maka tidak menyaratkan syarat ini.
2. At-Ta’yin
Wajib men-ta’yin jenis puasa yang akan dilakukan besok hari dalam puasa yang hukumnya wajib. Yaitu dengan menghadirkan dalam hati dan terlintas dalam pikiran bahwa dia puasa fardhu Ramadhan, atau puasa Nadzar, atau puasa Kaffarah misalnya. Karena Nabi Muhammad bersabda:
وإنما لكل امرئ ما نوى
“Bagi setiap orang hanyalah mendapatkan (ibadah) yang dia niatkan”.
3. At-Tikrar
Maksudnya, mengulang niat puasa Ramadhan di setiap malamnya dan tidak cukup niat satu kali pada malam pertama puasa menurut Madzhab Syafi’i berdasarkan keumuman Hadits ‘Aisyah di atas.
- Niat yang sempurna untuk puasa Ramadhan:
نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى
“Sengaja aku puasa besok hari untuk menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini, karena Allah Ta’ala”.
Menurut pendapat yang shahih dan mu’tamad dalam madzhab, tidak disyaratkan menambahkan Al-Adaa`, As-Sanah dan juga Lillahi Ta’ala pada niat ibadah puasa.

Catatan:
- An-Niyyah menurut bahasa Arab maknanya Al-Qashdu (menyengaja)
Menurut istilah syar’i:
قصد الشيء مقترنا بفعله
Menyengaja sesuatu beriringan dengan melakukan sesuatu tersebut.
Hukum Niat: Wajib
Tujuannya:
1.  Membedakan Ibadah dari kebiasaan (تمييز العبادة عن العادة  ).
Misalnya: Duduk untuk I’tikaf dan duduk hanya untuk istirahat di Masjid.
2. Membedakan tingkatan Ibadah ( تمييز رتبة العبادة ).
Misalnya: Shalat untuk yang fardhu dan Shalat untuk yang nafilah (sunnah).
Syarat niat:
1. Keislaman orang yang berniat
2. Mumayyiz
3. Ilmunya terhadap al-manwiyy (yang diniatkan)
4. Tidak melakukan hal yang membatalkan niatnya
5. Niatnya tidak dilakukan dengan Ta’liq (dikaitkan dengan suatu perkara sebagai syarat)
Waktu berniat: Di awal ibadah-ibadah fardhu.
-  Jadi, niat adalah menyengaja suatu ibadah yang akan dilakukan dengan menghadirkannya di dalam hati. Di antara hikmahnya adalah agar ibadah yang ingin kita lakukan benar-benar hadir dan meresap dalam jiwa kita sehingga membantu hati untuk konsentrasi dan fokus untuk mengerjakannya.
-  Hal yang terpenting dalam niat adalah tidak melakukannya secara berlebihan hingga menimbulkan rasa waswas, seperti menganggap niat itu harus dilafazkan dengan lisan dan sibuk mengulang-ngulangnya. Perbuatan seperti ini justru sangat tidak dianjurkan bahkan bisa menjurus kepada bid’ah madzmumah.


# Imam An-Nawawi berkata:
ولو نوى ليلة الثلاثين من شعبان صوم غد عن رمضان إن كان منه فكان منه لم يقع عنه إلا إذا اعتقد كونه منه بقول من يثق به من عبد أو امرأة أو صبيان رشداء. ولو نوى ليلة الثلاثين من رمضان صوم غد إن كان من رمضان أجزأه إن كان منه.

@ Penjelasan:
Salah satu yang disyaratkan dalam niat adalah At-Tanjiz. Kebalikan dari At-Tanjiz adalah At-Ta’liq. Maksudnya, niat itu tidak digantung atau diikat (bersyarat) dengan suatu peraka yang tidak pasti karena hal tersebut menunjukkan ketiadaan jazm pada niat.
Ta’liq ada dua macam:
1. Ta’liq bi masyiatillah, yaitu dengan mengucapkan Insya Allah.
Contoh: Berniat besok puasa insya Allah.
Hukum fikihnya:
Jika maksud dia mengucapkan Insya Allah untuk ta’liq atau mutlak begitu saja maka niatnya tidak sah. Tapi jika dia bermaksud untuk Tabarruk mengucapkan insya Allah sebagai Ta`kid maka niatnya sah.
2. Ta’liq bi ghairiha, yaitu dengan selain kalimat Insya Allah.
Contohnya seperti masalah pertama yang disebutkan Imam An-Nawawi: jika seseorang berniat pada malam 30 Sya’ban bahwa besok dia akan berpuasa Ramadhan jikalau seandainya besok mulai puasa Ramadhan.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti ini jika besok harinya ternyata memang masuk bulan Ramadhan maka niatnya tidak sah kecuali jika dia yakin bahwa besok memang masuk bulan Ramadhan dengan adanya pemberitahuan orang yang dia percayai walaupun seorang hamba sahaya, wanita atau anak-anak yang diketahui kejujurannya. Karena pemberitahuan orang-orang yang terpercaya itu menghasilkan ghalabatuzh zhan yang sama hukumnya dengan yakin. Mafhumnya, jika dia berniat dengan ta’liq seperti itu maka niat tidak sah dikarenakan adanya keragu-raguan dan ketidakadaan jazm (kepastian). Bahkan jika dia men-jazm-kan niatnya tersebut tanpa ada ta’liq kalimat “kalau seandainya”, tetap dihukumi niatnya batal/tidak sah selama dia tidak membangun niatnya tersebut di atas pengetahuan bahwa besok masuk bulan puasa Ramadhan, menurut pendapat yang shahih.
Masalah lain: Seseorang pada malam 30 Sya’ban berniat besok akan berpuasa sunnah/tathawwu’  jikalau memang masih bulan Sya’ban dan jikalau masuk bulan Ramadhan maka besok puasa fardhu Ramadhan. Dalam kondisi ini, jika memang masih bulan Sya’ban maka puasa sunnahnya sah karena memang asalnya masih tetap terhitung bulan Sya’ban, berbeda jika besok ternyata masuk bulan Ramadhan maka puasa fardhunya tidak sah.
Masalah kedua: Demikian juga, seseorang pada malam 30 Ramadhan berniat besok puasa kalau masih Ramadhan, jika besok ternyata memang masih bulan puasa maka niatnya ini meskipun dengan Ta’liq tapi hukumnya sah, karena secara asal masih tetap terhitung buln Ramadhan.


# Imam An-Nawawi berkata:
ولو اشتبه صام شهرا بالاجتهاد، فإن وافق ما بعد رمضان أجزأه وهو قضاء على الأصح فلو نقص وكان رمضان تاما لزمه يوم آخر، ولو غلط بالتقديم وأدرك رمضان لزمه صومه، وإلا فالجديد وجوب القضاء.

@ Penjelasan:
Masalah pertama: Seorang tawanan atau tahanan yang terisolasi dari dunia luar, sehingga waktu datangnya bulan Ramadhan menjadi samar/tidak jelas baginya maka dia tetap berpuasa selama satu bulan dengan melakukan “ijtihad” untuk menentukan kapan bulan Ramadhan mulai dan berakhir, seperti halnya dia berijtihad dalam menentukan arah kiblat dan waktu shalat. Jika perhitungan dia tersebut ternyata sesuai dengan waktu setelah bulan Ramadhan maka puasanya tersebut mencukupinya (tidak perlu diulang) dan dianggap qadha`, menurut pendapat yang lebih shahih dalam Madzhab. Dan jika puasanya kurang karena dia hanya berpuasa 29 hari saja kemudian menjadi jelas baginya bahwa bulan Ramadhan genap 30 hari maka dia harus mengqadhanya satu hari.
Masalah kedua: Jika ternyata perhitungannya sesuai dengan waktu sebelum Ramadhan kemudian dia pun mendapati bulan Ramadhan setelah dia selesai puasa satu bulan maka dia wajib berpuasa lagi pada bulan Ramadhan tersebut atau dia mendapati bulan Ramadhan di pertengahan dia puasa maka wajib mengqadha puasa yang tidak masuk bulan Ramadhan.
Masalah ketiga: Jika dia ternyata puasa sebelum bulan Ramadhan dan hal tersebut tidak  dia ketahui kecuali setelah berlalunya bulan Ramadhan (artinya dia tidak mendapati bulan Ramadhan kerena ketidaktahuan) maka wajib dia menqadha puasa Ramadhan satu bulan, menurut qaul jadid Imam Asy-Syafi’i. Dalam qaul qadim beliau, tidak wajib mengqadha karena adanya udzur.
Masalah keempat: Jika perhitungan hasil ijtihadnya tersebut tidak dia ketahui benar atau salahnya maka hukum yang zhahir adalah sah/benarnya ijtihad, sehingga tidak ada kewajiban qadha apapun. Ini selama tidak menjadi jelas bahwa perhitungan hasil ijtihadnya tersebut salah atau melenceng seperti masalah-masalah sebelumnya.
Masalah kelima: Jika dia berpuasa dalam kondisi seperti ini tanpa melakukan usaha “ijtihad” lalu ternyata puasanya tersebut memang sesuai dengan bulan Ramadhan maka puasanya tidak sah karena adanya taraddud (keraguan) dalam niat. Intinya niat puasa kalau tidak dibangun di atas suatu ilmu/pengetahuan bahwa besok ialah hari berpuasa Ramadhan maka niatnya tidak sah. Ilmu di sini cukup sekalipun hanya dengan ghalabatu zhan, seperti “ijtihad” melakukan perhitungan bulan puasa untuk orang yang tertawan atau tertahan dan semacamnya.


# Imam An-Nawawi berkata:
ولو نوت الحائض صوم غد قبل انقطاع دمها ثم انقطع ليلا صح إن تم لها في الليل أكثر الحيض،وكذا قدر العادة في الأصح.
@ Penjelasan:
Masalah pertama: Seorang wanita yang dalam keadaan haid atau nifas dan telah berlalu batas maksimal masa haid atau nifasnya tersebut (dalam Madzhab, batas maksimal masa haid adalah lima belas hari dan batas maksimal masa nifas enam puluh hari) lalu dia berniat pada malam hari bahwa besok akan berpuasa padahal darah yang keluar masih belum terputus maka niatnya sah, karena darah yang keluar lebih dari waktu maksimal haid dihukumi darah istihadhah dan darah istihadhah tidak menghalangi puasa.
Masalah kedua: Demikian juga, wanita yang masa keluar haid atau nifasnya berdasarkan adat kebiasaannya selama haid dan nifas. Misalnya, masa keluar haidnya selama delapan hari menurut kebiasaannya yang tetap dan teratur; maka jika dia berniat malam hari di hari yang ke-8 maka puasanya sah, meskipun darah yang keluar belum terputus karena darah yang lebih itu dihukumi darah istihadhah, menurut pendapat yang lebih shahih dalam Madzhab.
Masalah ketiga: Adapun jika dia tidak memiliki masa haid atau nifas yang teratur berdasarkan kebiasaannya sedangkan batas maksimalnya belum sempurna maka niat puasanya di malam hari tersebut tidak sah, karena dia tidak menjazmkan niat dan tidak pula membangun niatnya di atas suatu dasar atau indikator tertentu.

Wallahu a’lam bish shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar