TENTANG RUKUN-RUKUN PUASA
(Kajian berdasarkan
penjelasan Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam An-Nawawi dan Kitab Mughnil
Muhtaj karya Al-Khathib Asy-Syarbini)
#
Imam An-Nawawi berkata:
فصل
النية
شرط للصوم ويشترط لفرضه التبييت والصحيح أنه لا يشترط النصف الآخر من الليل وأنه
لا يضر الأكل والجماع بعدها وأنه لا يجب التجديد إذا نام ثم تنبه ويصح النفل بنية
قبل الزوال وكذا بعده في قول والصحيح اشتراط حصول شرط الصوم من أول النهار ويجب
التعيين في الفرض. وكماله في رمضان أن ينوي صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة
لله تعالى وفي الأداء والفرضية والإضافة إلى الله تعالى الخلاف المذكور في الصلاة
والصحيح أنه لا يشترط تعيين السنة.
@
Penjelasan:
Dalam
pasal ini, Imam An-Nawawi mulai membahas tentang rukun-rukun puasa. Dan
rukun-rukun puasa ada tiga sebagaimana yang sudah disebutkan.
Rukun
Pertama: Niat
Dalam
Madzhab Syafi’i, niat itu merupakan rukun dari Ibadah sehingga dilakukan
beriringan dengan awal ibadah, bukan sebelum menjelang Ibadah seperti halnya
pendapat tiga madzhab fikih lainnya. Adapun perkataan beliau di atas
bahwa niat adalah syarat puasa maka maksudnya bahwa puasa itu tidak sah tanpa
adanya niat, karena orang yang meninggalkan rukun tidak sah ibadahnya.
Niat
tempatnya di hati, tidak cukup hanya dengan lisan dan tidak disyaratkan
melafazkan niat. Melafazkan niat dengan lisan untuk membantu hati menghadirkan
niat hukumnya hanya mustahab dalam Madzhab Syafi’i dan Jumhur Fuqaha (dan
mereka ini tentunya bukan Ahlul BID’AH!).
Terkait
niat puasa ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
1.
At-Tabyit
Menyengaja
puasa dilakukan pada malam hari, sebelum terbitnya fajar shadiq. Tidak
disyaratkan melakukan niat setelah berlalunya pertengahan malam bahkan boleh di
awal malam menurut pendapat yang shahih. Demikian juga, tidak perlu melakukan
tajdid niat dalam satu malam; meskipun setelah berniat dia tidur makan, minum, dan melakukan jima’.
Dalil
wajibnya men-tabyit niat puasa Ramadhan:
Hadits
‘Aisyah yang diriwayatkan Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi:
“Barang
siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa
baginya”.
-
Niat puasa dalam pendapat yang dishahihkan An-Nawawi tidak disyaratkan
harus setelah pertengahan malam akhir, berdasarkan keumuman Hadits ini dan juga
karena mensyaratkan hal tersebut mendatangkan masyaqqah (kesulitan). Menurut pendapat
lain dalam madzhab, disyaratkan hal tersebut karena secara asal niat itu
wajib beriringan dengan awal Ibadah.
- Dalam
Madzhab, Tabyit diwajibkan untuk puasa wajib saja, seperti puasa Ramadhan,
puasa qadha`, puasa nadzar. Adapun puasa yang tidak wajib (puasa
sunnah) maka boleh berniat di awal siang, sebelum zawal atau boleh juga setelah
zawal menurut pendapat lain, selama dia belum melakukan hal-hal yang
membatalkan ibadah puasa. Imam An-Nawawi pada matan yang dikutip di atas
menyebutkan:
والصحيح
اشتراط حصول شرط الصوم من أول النهار...
Maksud
dari syarat puasa di sini adalah hendaknya orang yang puasa sunnah tidak
melakukan hal-hal yang menafikan kesahan puasanya, seperti makan dan minum
misalnya, semenjak awal permualaan siang hari. Dan pendapat yang shahih
ini dibangun atas dasar argumen bahwa puasa (menahan diri) itu harus mencakup keseluruhan siang
hari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari, sehingga meskipun puasa
sunnah tidak dihitung dari awal waktu ketika dia meniatkannya dalam hati tapi disyaratkan dia sudah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari mulai permulaan siang. Berbeda dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa puasa sunnah itu dihitung dari semenjak dia meniatkannya, maka tidak menyaratkan syarat ini.
2.
At-Ta’yin
Wajib
men-ta’yin jenis puasa yang akan dilakukan besok hari dalam puasa yang hukumnya
wajib. Yaitu dengan menghadirkan dalam hati dan terlintas dalam pikiran bahwa
dia puasa fardhu Ramadhan, atau puasa Nadzar, atau puasa Kaffarah misalnya.
Karena Nabi Muhammad bersabda:
وإنما لكل امرئ ما نوى
“Bagi
setiap orang hanyalah mendapatkan (ibadah) yang dia niatkan”.
3.
At-Tikrar
Maksudnya,
mengulang niat puasa Ramadhan di setiap malamnya dan tidak cukup niat satu kali
pada malam pertama puasa menurut Madzhab Syafi’i berdasarkan keumuman Hadits
‘Aisyah di atas.
- Niat yang sempurna untuk puasa
Ramadhan:
نويت صوم
غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى
“Sengaja aku puasa besok hari untuk
menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini, karena Allah Ta’ala”.
Menurut
pendapat yang shahih dan mu’tamad dalam madzhab, tidak disyaratkan menambahkan
Al-Adaa`, As-Sanah dan juga Lillahi Ta’ala pada niat ibadah puasa.
Catatan:
- An-Niyyah
menurut bahasa Arab maknanya Al-Qashdu (menyengaja)
Menurut
istilah syar’i:
قصد الشيء مقترنا بفعله
Menyengaja
sesuatu beriringan dengan melakukan sesuatu tersebut.
Hukum
Niat: Wajib
Tujuannya:
1. Membedakan Ibadah dari kebiasaan (تمييز العبادة عن العادة ).
Misalnya:
Duduk untuk I’tikaf dan duduk hanya untuk istirahat di Masjid.
2.
Membedakan tingkatan Ibadah ( تمييز رتبة العبادة ).
Misalnya:
Shalat untuk yang fardhu dan Shalat untuk yang nafilah (sunnah).
Syarat
niat:
1.
Keislaman orang yang berniat
2.
Mumayyiz
3.
Ilmunya terhadap al-manwiyy (yang diniatkan)
4.
Tidak melakukan hal yang membatalkan niatnya
5.
Niatnya tidak dilakukan dengan Ta’liq (dikaitkan dengan suatu perkara sebagai syarat)
Waktu
berniat: Di awal ibadah-ibadah fardhu.
- Jadi, niat adalah menyengaja suatu ibadah
yang akan dilakukan dengan menghadirkannya di dalam hati. Di antara hikmahnya
adalah agar ibadah yang ingin kita lakukan benar-benar hadir dan meresap dalam
jiwa kita sehingga membantu hati untuk konsentrasi dan fokus untuk
mengerjakannya.
- Hal yang terpenting dalam niat adalah tidak
melakukannya secara berlebihan hingga menimbulkan rasa waswas, seperti
menganggap niat itu harus dilafazkan dengan lisan dan sibuk
mengulang-ngulangnya. Perbuatan seperti ini justru sangat tidak dianjurkan
bahkan bisa menjurus kepada bid’ah madzmumah.
#
Imam An-Nawawi berkata:
ولو نوى ليلة الثلاثين من شعبان صوم غد عن رمضان إن كان
منه فكان منه لم يقع عنه إلا إذا اعتقد كونه منه بقول من يثق به من عبد أو امرأة
أو صبيان رشداء. ولو نوى ليلة
الثلاثين من رمضان صوم غد إن كان من رمضان أجزأه إن كان منه.
@ Penjelasan:
Salah satu yang disyaratkan dalam niat adalah At-Tanjiz. Kebalikan
dari At-Tanjiz adalah At-Ta’liq. Maksudnya, niat itu tidak digantung atau diikat
(bersyarat) dengan suatu peraka yang tidak pasti karena hal tersebut
menunjukkan ketiadaan jazm pada niat.
Ta’liq ada dua macam:
1. Ta’liq bi masyiatillah, yaitu dengan mengucapkan Insya
Allah.
Contoh: Berniat besok puasa insya Allah.
Hukum fikihnya:
Jika maksud dia mengucapkan Insya Allah untuk ta’liq atau
mutlak begitu saja maka niatnya tidak sah. Tapi jika dia bermaksud untuk
Tabarruk mengucapkan insya Allah sebagai Ta`kid maka niatnya sah.
2. Ta’liq bi ghairiha, yaitu dengan selain kalimat Insya
Allah.
Contohnya seperti masalah pertama yang
disebutkan Imam An-Nawawi: jika seseorang berniat pada malam 30 Sya’ban bahwa
besok dia akan berpuasa Ramadhan jikalau seandainya besok mulai puasa Ramadhan.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti
ini jika besok harinya ternyata memang masuk bulan Ramadhan maka niatnya tidak
sah kecuali jika dia yakin bahwa besok memang masuk bulan Ramadhan dengan
adanya pemberitahuan orang yang dia percayai walaupun seorang hamba sahaya,
wanita atau anak-anak yang diketahui kejujurannya. Karena pemberitahuan
orang-orang yang terpercaya itu menghasilkan ghalabatuzh zhan yang sama
hukumnya dengan yakin. Mafhumnya, jika dia berniat dengan ta’liq seperti itu
maka niat tidak sah dikarenakan adanya keragu-raguan dan ketidakadaan jazm
(kepastian). Bahkan jika dia men-jazm-kan niatnya tersebut tanpa ada ta’liq
kalimat “kalau seandainya”, tetap dihukumi niatnya batal/tidak sah selama dia
tidak membangun niatnya tersebut di atas pengetahuan bahwa besok masuk bulan
puasa Ramadhan, menurut pendapat yang shahih.
Masalah lain: Seseorang pada malam 30 Sya’ban
berniat besok akan berpuasa sunnah/tathawwu’
jikalau memang masih bulan Sya’ban dan jikalau masuk bulan Ramadhan maka
besok puasa fardhu Ramadhan. Dalam kondisi ini, jika memang masih bulan Sya’ban
maka puasa sunnahnya sah karena memang asalnya masih tetap terhitung bulan
Sya’ban, berbeda jika besok ternyata masuk bulan Ramadhan maka puasa fardhunya
tidak sah.
Masalah kedua: Demikian juga, seseorang
pada malam 30 Ramadhan berniat besok puasa kalau masih Ramadhan, jika besok
ternyata memang masih bulan puasa maka niatnya ini meskipun dengan Ta’liq tapi
hukumnya sah, karena secara asal masih tetap terhitung buln Ramadhan.
# Imam An-Nawawi berkata:
ولو اشتبه صام شهرا بالاجتهاد، فإن وافق ما بعد رمضان أجزأه
وهو قضاء على الأصح فلو نقص وكان رمضان تاما لزمه يوم آخر، ولو غلط بالتقديم وأدرك
رمضان لزمه صومه، وإلا فالجديد وجوب القضاء.
@
Penjelasan:
Masalah
pertama:
Seorang tawanan atau tahanan yang terisolasi dari dunia luar, sehingga waktu
datangnya bulan Ramadhan menjadi samar/tidak jelas baginya maka dia tetap
berpuasa selama satu bulan dengan melakukan “ijtihad” untuk menentukan kapan
bulan Ramadhan mulai dan berakhir, seperti halnya dia berijtihad dalam
menentukan arah kiblat dan waktu shalat. Jika perhitungan dia tersebut ternyata
sesuai dengan waktu setelah bulan Ramadhan maka puasanya tersebut mencukupinya
(tidak perlu diulang) dan dianggap qadha`, menurut pendapat yang lebih
shahih dalam Madzhab. Dan jika puasanya kurang karena dia hanya berpuasa 29
hari saja kemudian menjadi jelas baginya bahwa bulan Ramadhan genap 30 hari
maka dia harus mengqadhanya satu hari.
Masalah
kedua: Jika
ternyata perhitungannya sesuai dengan waktu sebelum Ramadhan kemudian dia pun
mendapati bulan Ramadhan setelah dia selesai puasa satu bulan maka dia wajib berpuasa
lagi pada bulan Ramadhan tersebut atau dia mendapati bulan Ramadhan di
pertengahan dia puasa maka wajib mengqadha puasa yang tidak masuk bulan
Ramadhan.
Masalah
ketiga:
Jika dia ternyata puasa sebelum bulan Ramadhan dan hal tersebut tidak dia ketahui kecuali setelah berlalunya bulan
Ramadhan (artinya dia tidak mendapati bulan Ramadhan kerena ketidaktahuan) maka
wajib dia menqadha puasa Ramadhan satu bulan, menurut qaul jadid Imam
Asy-Syafi’i. Dalam qaul qadim beliau, tidak wajib mengqadha karena
adanya udzur.
Masalah
keempat:
Jika perhitungan hasil ijtihadnya tersebut tidak dia ketahui benar atau
salahnya maka hukum yang zhahir adalah sah/benarnya ijtihad, sehingga tidak ada
kewajiban qadha apapun. Ini selama tidak menjadi jelas bahwa perhitungan hasil
ijtihadnya tersebut salah atau melenceng seperti masalah-masalah sebelumnya.
Masalah
kelima:
Jika dia berpuasa dalam kondisi seperti ini tanpa melakukan usaha “ijtihad”
lalu ternyata puasanya tersebut memang sesuai dengan bulan Ramadhan maka
puasanya tidak sah karena adanya taraddud (keraguan) dalam niat. Intinya niat
puasa kalau tidak dibangun di atas suatu ilmu/pengetahuan bahwa besok ialah
hari berpuasa Ramadhan maka niatnya tidak sah. Ilmu di sini cukup sekalipun
hanya dengan ghalabatu zhan, seperti “ijtihad” melakukan perhitungan bulan
puasa untuk orang yang tertawan atau tertahan dan semacamnya.
#
Imam An-Nawawi berkata:
ولو نوت الحائض صوم غد
قبل انقطاع دمها ثم انقطع ليلا صح إن تم لها في الليل أكثر الحيض،وكذا قدر العادة
في الأصح.
@ Penjelasan:
Masalah
pertama:
Seorang wanita yang dalam keadaan haid atau nifas dan telah berlalu batas
maksimal masa haid atau nifasnya tersebut (dalam Madzhab, batas maksimal masa
haid adalah lima belas hari dan batas maksimal masa nifas enam puluh hari) lalu
dia berniat pada malam hari bahwa besok akan berpuasa padahal darah yang keluar
masih belum terputus maka niatnya sah, karena darah yang keluar lebih dari
waktu maksimal haid dihukumi darah istihadhah dan darah istihadhah tidak
menghalangi puasa.
Masalah
kedua:
Demikian juga, wanita yang masa keluar haid atau nifasnya berdasarkan adat
kebiasaannya selama haid dan nifas. Misalnya, masa keluar haidnya selama
delapan hari menurut kebiasaannya yang tetap dan teratur; maka jika dia berniat
malam hari di hari yang ke-8 maka puasanya sah, meskipun darah yang keluar
belum terputus karena darah yang lebih itu dihukumi darah istihadhah, menurut pendapat
yang lebih shahih dalam Madzhab.
Masalah
ketiga:
Adapun jika dia tidak memiliki masa haid atau nifas yang teratur berdasarkan
kebiasaannya sedangkan batas maksimalnya belum sempurna maka niat puasanya di
malam hari tersebut tidak sah, karena dia tidak menjazmkan niat dan tidak pula
membangun niatnya di atas suatu dasar atau indikator tertentu.
Wallahu
a’lam bish shawab.