Sabtu, 20 Mei 2017

FIKIH PUASA (2)



TENTANG RUKUN-RUKUN PUASA


(Kajian berdasarkan penjelasan Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam An-Nawawi dan Kitab Mughnil Muhtaj karya Al-Khathib Asy-Syarbini)


# Imam An-Nawawi berkata:
فصل
النية شرط للصوم ويشترط لفرضه التبييت والصحيح أنه لا يشترط النصف الآخر من الليل وأنه لا يضر الأكل والجماع بعدها وأنه لا يجب التجديد إذا نام ثم تنبه ويصح النفل بنية قبل الزوال وكذا بعده في قول والصحيح اشتراط حصول شرط الصوم من أول النهار ويجب التعيين في الفرض. وكماله في رمضان أن ينوي صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى وفي الأداء والفرضية والإضافة إلى الله تعالى الخلاف المذكور في الصلاة والصحيح أنه لا يشترط تعيين السنة.

@ Penjelasan:
Dalam pasal ini, Imam An-Nawawi mulai membahas tentang rukun-rukun puasa. Dan rukun-rukun puasa ada tiga sebagaimana yang sudah disebutkan.
Rukun Pertama: Niat
Dalam Madzhab Syafi’i, niat itu merupakan rukun dari Ibadah sehingga dilakukan beriringan dengan awal ibadah, bukan sebelum menjelang Ibadah seperti halnya pendapat tiga madzhab fikih lainnya. Adapun perkataan beliau di atas bahwa niat adalah syarat puasa maka maksudnya bahwa puasa itu tidak sah tanpa adanya niat, karena orang yang meninggalkan rukun tidak sah ibadahnya.
Niat tempatnya di hati, tidak cukup hanya dengan lisan dan tidak disyaratkan melafazkan niat. Melafazkan niat dengan lisan untuk membantu hati menghadirkan niat hukumnya hanya mustahab dalam Madzhab Syafi’i dan Jumhur Fuqaha (dan mereka ini tentunya bukan Ahlul BID’AH!).
Terkait niat puasa ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan:
1. At-Tabyit
Menyengaja puasa dilakukan pada malam hari, sebelum terbitnya fajar shadiq. Tidak disyaratkan melakukan niat setelah berlalunya pertengahan malam bahkan boleh di awal malam menurut pendapat yang shahih. Demikian juga, tidak perlu melakukan tajdid niat dalam satu malam; meskipun setelah berniat dia tidur  makan, minum, dan melakukan jima’.
Dalil wajibnya men-tabyit niat puasa Ramadhan:
“Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya”.
- Niat puasa dalam pendapat yang dishahihkan An-Nawawi tidak disyaratkan harus setelah pertengahan malam akhir, berdasarkan keumuman Hadits ini dan juga karena mensyaratkan hal tersebut mendatangkan masyaqqah (kesulitan). Menurut pendapat lain dalam madzhab, disyaratkan hal tersebut karena secara asal niat itu wajib beriringan dengan awal Ibadah.
- Dalam Madzhab, Tabyit diwajibkan untuk puasa wajib saja, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha`, puasa nadzar. Adapun puasa yang tidak wajib (puasa sunnah) maka boleh berniat di awal siang, sebelum zawal atau boleh juga setelah zawal menurut pendapat lain, selama dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan ibadah puasa. Imam An-Nawawi pada matan yang dikutip di atas menyebutkan:
والصحيح اشتراط حصول شرط الصوم من أول النهار...
Maksud dari syarat puasa di sini adalah hendaknya orang yang puasa sunnah tidak melakukan hal-hal yang menafikan kesahan puasanya, seperti makan dan minum misalnya, semenjak awal permualaan siang hari. Dan pendapat yang shahih ini dibangun atas dasar argumen bahwa puasa (menahan diri) itu harus mencakup keseluruhan siang hari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari, sehingga meskipun puasa sunnah tidak dihitung dari awal waktu ketika dia meniatkannya dalam hati tapi disyaratkan dia sudah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari mulai permulaan siang. Berbeda dengan pendapat lain yang mengatakan bahwa puasa sunnah itu dihitung dari semenjak dia meniatkannya, maka tidak menyaratkan syarat ini.
2. At-Ta’yin
Wajib men-ta’yin jenis puasa yang akan dilakukan besok hari dalam puasa yang hukumnya wajib. Yaitu dengan menghadirkan dalam hati dan terlintas dalam pikiran bahwa dia puasa fardhu Ramadhan, atau puasa Nadzar, atau puasa Kaffarah misalnya. Karena Nabi Muhammad bersabda:
وإنما لكل امرئ ما نوى
“Bagi setiap orang hanyalah mendapatkan (ibadah) yang dia niatkan”.
3. At-Tikrar
Maksudnya, mengulang niat puasa Ramadhan di setiap malamnya dan tidak cukup niat satu kali pada malam pertama puasa menurut Madzhab Syafi’i berdasarkan keumuman Hadits ‘Aisyah di atas.
- Niat yang sempurna untuk puasa Ramadhan:
نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى
“Sengaja aku puasa besok hari untuk menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini, karena Allah Ta’ala”.
Menurut pendapat yang shahih dan mu’tamad dalam madzhab, tidak disyaratkan menambahkan Al-Adaa`, As-Sanah dan juga Lillahi Ta’ala pada niat ibadah puasa.

Catatan:
- An-Niyyah menurut bahasa Arab maknanya Al-Qashdu (menyengaja)
Menurut istilah syar’i:
قصد الشيء مقترنا بفعله
Menyengaja sesuatu beriringan dengan melakukan sesuatu tersebut.
Hukum Niat: Wajib
Tujuannya:
1.  Membedakan Ibadah dari kebiasaan (تمييز العبادة عن العادة  ).
Misalnya: Duduk untuk I’tikaf dan duduk hanya untuk istirahat di Masjid.
2. Membedakan tingkatan Ibadah ( تمييز رتبة العبادة ).
Misalnya: Shalat untuk yang fardhu dan Shalat untuk yang nafilah (sunnah).
Syarat niat:
1. Keislaman orang yang berniat
2. Mumayyiz
3. Ilmunya terhadap al-manwiyy (yang diniatkan)
4. Tidak melakukan hal yang membatalkan niatnya
5. Niatnya tidak dilakukan dengan Ta’liq (dikaitkan dengan suatu perkara sebagai syarat)
Waktu berniat: Di awal ibadah-ibadah fardhu.
-  Jadi, niat adalah menyengaja suatu ibadah yang akan dilakukan dengan menghadirkannya di dalam hati. Di antara hikmahnya adalah agar ibadah yang ingin kita lakukan benar-benar hadir dan meresap dalam jiwa kita sehingga membantu hati untuk konsentrasi dan fokus untuk mengerjakannya.
-  Hal yang terpenting dalam niat adalah tidak melakukannya secara berlebihan hingga menimbulkan rasa waswas, seperti menganggap niat itu harus dilafazkan dengan lisan dan sibuk mengulang-ngulangnya. Perbuatan seperti ini justru sangat tidak dianjurkan bahkan bisa menjurus kepada bid’ah madzmumah.


# Imam An-Nawawi berkata:
ولو نوى ليلة الثلاثين من شعبان صوم غد عن رمضان إن كان منه فكان منه لم يقع عنه إلا إذا اعتقد كونه منه بقول من يثق به من عبد أو امرأة أو صبيان رشداء. ولو نوى ليلة الثلاثين من رمضان صوم غد إن كان من رمضان أجزأه إن كان منه.

@ Penjelasan:
Salah satu yang disyaratkan dalam niat adalah At-Tanjiz. Kebalikan dari At-Tanjiz adalah At-Ta’liq. Maksudnya, niat itu tidak digantung atau diikat (bersyarat) dengan suatu peraka yang tidak pasti karena hal tersebut menunjukkan ketiadaan jazm pada niat.
Ta’liq ada dua macam:
1. Ta’liq bi masyiatillah, yaitu dengan mengucapkan Insya Allah.
Contoh: Berniat besok puasa insya Allah.
Hukum fikihnya:
Jika maksud dia mengucapkan Insya Allah untuk ta’liq atau mutlak begitu saja maka niatnya tidak sah. Tapi jika dia bermaksud untuk Tabarruk mengucapkan insya Allah sebagai Ta`kid maka niatnya sah.
2. Ta’liq bi ghairiha, yaitu dengan selain kalimat Insya Allah.
Contohnya seperti masalah pertama yang disebutkan Imam An-Nawawi: jika seseorang berniat pada malam 30 Sya’ban bahwa besok dia akan berpuasa Ramadhan jikalau seandainya besok mulai puasa Ramadhan.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti ini jika besok harinya ternyata memang masuk bulan Ramadhan maka niatnya tidak sah kecuali jika dia yakin bahwa besok memang masuk bulan Ramadhan dengan adanya pemberitahuan orang yang dia percayai walaupun seorang hamba sahaya, wanita atau anak-anak yang diketahui kejujurannya. Karena pemberitahuan orang-orang yang terpercaya itu menghasilkan ghalabatuzh zhan yang sama hukumnya dengan yakin. Mafhumnya, jika dia berniat dengan ta’liq seperti itu maka niat tidak sah dikarenakan adanya keragu-raguan dan ketidakadaan jazm (kepastian). Bahkan jika dia men-jazm-kan niatnya tersebut tanpa ada ta’liq kalimat “kalau seandainya”, tetap dihukumi niatnya batal/tidak sah selama dia tidak membangun niatnya tersebut di atas pengetahuan bahwa besok masuk bulan puasa Ramadhan, menurut pendapat yang shahih.
Masalah lain: Seseorang pada malam 30 Sya’ban berniat besok akan berpuasa sunnah/tathawwu’  jikalau memang masih bulan Sya’ban dan jikalau masuk bulan Ramadhan maka besok puasa fardhu Ramadhan. Dalam kondisi ini, jika memang masih bulan Sya’ban maka puasa sunnahnya sah karena memang asalnya masih tetap terhitung bulan Sya’ban, berbeda jika besok ternyata masuk bulan Ramadhan maka puasa fardhunya tidak sah.
Masalah kedua: Demikian juga, seseorang pada malam 30 Ramadhan berniat besok puasa kalau masih Ramadhan, jika besok ternyata memang masih bulan puasa maka niatnya ini meskipun dengan Ta’liq tapi hukumnya sah, karena secara asal masih tetap terhitung buln Ramadhan.


# Imam An-Nawawi berkata:
ولو اشتبه صام شهرا بالاجتهاد، فإن وافق ما بعد رمضان أجزأه وهو قضاء على الأصح فلو نقص وكان رمضان تاما لزمه يوم آخر، ولو غلط بالتقديم وأدرك رمضان لزمه صومه، وإلا فالجديد وجوب القضاء.

@ Penjelasan:
Masalah pertama: Seorang tawanan atau tahanan yang terisolasi dari dunia luar, sehingga waktu datangnya bulan Ramadhan menjadi samar/tidak jelas baginya maka dia tetap berpuasa selama satu bulan dengan melakukan “ijtihad” untuk menentukan kapan bulan Ramadhan mulai dan berakhir, seperti halnya dia berijtihad dalam menentukan arah kiblat dan waktu shalat. Jika perhitungan dia tersebut ternyata sesuai dengan waktu setelah bulan Ramadhan maka puasanya tersebut mencukupinya (tidak perlu diulang) dan dianggap qadha`, menurut pendapat yang lebih shahih dalam Madzhab. Dan jika puasanya kurang karena dia hanya berpuasa 29 hari saja kemudian menjadi jelas baginya bahwa bulan Ramadhan genap 30 hari maka dia harus mengqadhanya satu hari.
Masalah kedua: Jika ternyata perhitungannya sesuai dengan waktu sebelum Ramadhan kemudian dia pun mendapati bulan Ramadhan setelah dia selesai puasa satu bulan maka dia wajib berpuasa lagi pada bulan Ramadhan tersebut atau dia mendapati bulan Ramadhan di pertengahan dia puasa maka wajib mengqadha puasa yang tidak masuk bulan Ramadhan.
Masalah ketiga: Jika dia ternyata puasa sebelum bulan Ramadhan dan hal tersebut tidak  dia ketahui kecuali setelah berlalunya bulan Ramadhan (artinya dia tidak mendapati bulan Ramadhan kerena ketidaktahuan) maka wajib dia menqadha puasa Ramadhan satu bulan, menurut qaul jadid Imam Asy-Syafi’i. Dalam qaul qadim beliau, tidak wajib mengqadha karena adanya udzur.
Masalah keempat: Jika perhitungan hasil ijtihadnya tersebut tidak dia ketahui benar atau salahnya maka hukum yang zhahir adalah sah/benarnya ijtihad, sehingga tidak ada kewajiban qadha apapun. Ini selama tidak menjadi jelas bahwa perhitungan hasil ijtihadnya tersebut salah atau melenceng seperti masalah-masalah sebelumnya.
Masalah kelima: Jika dia berpuasa dalam kondisi seperti ini tanpa melakukan usaha “ijtihad” lalu ternyata puasanya tersebut memang sesuai dengan bulan Ramadhan maka puasanya tidak sah karena adanya taraddud (keraguan) dalam niat. Intinya niat puasa kalau tidak dibangun di atas suatu ilmu/pengetahuan bahwa besok ialah hari berpuasa Ramadhan maka niatnya tidak sah. Ilmu di sini cukup sekalipun hanya dengan ghalabatu zhan, seperti “ijtihad” melakukan perhitungan bulan puasa untuk orang yang tertawan atau tertahan dan semacamnya.


# Imam An-Nawawi berkata:
ولو نوت الحائض صوم غد قبل انقطاع دمها ثم انقطع ليلا صح إن تم لها في الليل أكثر الحيض،وكذا قدر العادة في الأصح.
@ Penjelasan:
Masalah pertama: Seorang wanita yang dalam keadaan haid atau nifas dan telah berlalu batas maksimal masa haid atau nifasnya tersebut (dalam Madzhab, batas maksimal masa haid adalah lima belas hari dan batas maksimal masa nifas enam puluh hari) lalu dia berniat pada malam hari bahwa besok akan berpuasa padahal darah yang keluar masih belum terputus maka niatnya sah, karena darah yang keluar lebih dari waktu maksimal haid dihukumi darah istihadhah dan darah istihadhah tidak menghalangi puasa.
Masalah kedua: Demikian juga, wanita yang masa keluar haid atau nifasnya berdasarkan adat kebiasaannya selama haid dan nifas. Misalnya, masa keluar haidnya selama delapan hari menurut kebiasaannya yang tetap dan teratur; maka jika dia berniat malam hari di hari yang ke-8 maka puasanya sah, meskipun darah yang keluar belum terputus karena darah yang lebih itu dihukumi darah istihadhah, menurut pendapat yang lebih shahih dalam Madzhab.
Masalah ketiga: Adapun jika dia tidak memiliki masa haid atau nifas yang teratur berdasarkan kebiasaannya sedangkan batas maksimalnya belum sempurna maka niat puasanya di malam hari tersebut tidak sah, karena dia tidak menjazmkan niat dan tidak pula membangun niatnya di atas suatu dasar atau indikator tertentu.

Wallahu a’lam bish shawab.


Jumat, 19 Mei 2017

FIKIH PUASA (1)



(Kajian berdasarkan penjelasan Kitab Minhajuth Thalibin karya Imam An-Nawawi dan Kitab Mughnil Muhtaj karya Al-Khathib Asy-Syarbini)

كتاب الصيام

Ash-Shaum (puasa) menurut bahasa Arab maknanya adalah Al-Imsak (menahan). Di antara yang menunjukkan makna bahasa ini adalah perkataan Maryam dalam QS.  Maryam: 26. Allah Ta’ala berfirman:
(( فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ))
Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".”

Menurut istilah syar’i, puasa adalah:
إمساك عن المفطر على وجه مخصوص.
Menahan diri dari pembatal puasa dengan suatu cara yang dikhususkan. Waktunya dari terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari di ufuk barat.

Dalil diwajibkannya puasa:
Dalam Al-Qu`ranul Karim: QS. Al-Baqarah: 183 dan 185.
(( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ))
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ))
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”

Hadits tentang Rukun Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، والحج، وصوم رمضان.
“Islam dibangun di atas lima pondasi:  Syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan puasa Ramadhan.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Dan ijma' Ulama yang qath'i menetapkan bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib, maka siapa yang mengingkari kewajibannya dia murtad.

- Ibadah puasa diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua setelah hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wasallam ke Madinah.

- Rukun puasa ada tiga:
1. Orang yang berpuasa
2. Niat
3. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.


# Imam An-Nawawi dalam Minhajuth Thalibin berkata:
يجب صوم رمضان بإكمال شعبان ثلاثين أو رؤية الهلال. وثبوت رؤيته بعدل وفي قول: عدلان. وشرط الواحد صفة العدول في الأصح لا عبد وامرأة. 
“Wajib puasa Ramadhan dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari atau ru`yah hilal. Ru`yah tersebut tetap dengan satu orang yang adil, sedangkan dalam satu pendapat: dua orang yang adil. Syarat satu orang saksi adalah sifat adil menurut pendapat yang lebih shahih, bukan hamba sahaya dan juga perempuan”.

@ Penjelasan:
Masalah pertama:

Penetapan bulan Ramadhan dengan dua cara:
1. Dengan melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban, malam 30 Sya’ban. Jika terlihat maka besok harinya adalah awal bulan puasa. Dan dengan demikian bulan Sya’ban berjumlah 29 hari.
2. Jika tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, dan setelahnya dihitung awal bulan puasa.
Karena bulan dalam kalender Hijriyyah itu berkisar antara 29 dan 30 hari.
Dalilnya: Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam besabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين.
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi dari melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari”.
Dalam Hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Muslim dengan redaksi:
... فصوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين.
“Maka berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Jika tidak tertutupi atas kalian maka tetapkan bulan tersebut menjadi tiga puluh hari”.
Dan dalam redaksi Ibnu Hibban:
لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له.
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal dan jangan berbuka hingga kalian melihatnya. Jika terhalangi atas kalian maka perkirakanlah”.

Masalah kedua:
Hilal bulan Ramadhan ditetapkan dengan cukup persaksian satu orang yang adil saja, berbeda dengan hilal bulan Syawwal yang harus disaksikan oleh dua orang yang adil.
Ini berdasarkan qaul qadim Imam Asy-Syafi’i. Adapun menurut qaul jadid beliau, ditetapkan dengan persaksian dua orang yang adil.
Dan yang mu’tamad menurut Ulama Syafi’iyyah adalah pendapat yang pertama karena hadits-hadits yang menyebutkan bahwa  Rasulullah menerima persaksian satu orang dalam hilal Ramadhan derajatnya shahih.
- Hadits Ibnu ‘Abbas
عن ابن عباس، قال: جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أبصرت الهلال الليلة، فقال: «أتشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله؟» قال: نعم، قال: «قم يا بلال فأذن في الناس أن يصوموا غدا».
Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Seorang arab badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam  lalu berkata: Aku telah melihat hilal malami ini. Maka Rasulullah bertanya: ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah?” Dia menjawab: Ya. Rasulullah pun bersabda: “Wahai bilal, bangkilah lalu umumkanlan kepada orang-orang agar mereka berpuasa besok”.
HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan sanad yang mursal.
Di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Simak bin Harb, dia perawi yang shaduq hanya saja riwayatnya dari ‘Ikrimah mudhtharib, dan yang rajih menurut sejumlah Ahli Hadits adalah riwayat yang mursal.
Dengan alasan ini Imam Asy-Syafi’i berpendapat dengan qaul jadid beliau. Hanya saja, riwayat di atas dikuatkan oleh Hadits Ibnu ‘Umar:
 عن ابن عمر قال: ترائى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم، أني رأيته فصامه، وأمر الناس بصيامه.
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Orang-orang mencari-cari (melihat) hilal, maka aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bahwa aku telah melihatnya maka beliaupun berpuasa dengan hilal tersebut dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan lainnya dengan sanad shahih.
Tambahan: Jika hilal disaksikan satu atau dua orang yang adil sedangkan hisab falak menetapkan ketidakmungkinan melihat hilal pada waktu tersebut maka yang mu’tamad dalam Madzhab adalah persaksian tetap diterima karena hisab tidak mu’tabar dalam penetapan awal puasa dan hari raya.

Masalah ketiga:
Syarat persaksian orang yang melihat hilal Ramadhan:
1. Tidak disyaratkan jumlahnya dua orang, cukup satu orang saja bersaksi dihadapan qadhi/hakim berdasarkan yang mu’tamad dari dua pendapat Imam Asy-Syafi’i.
Dan hikmah diterimanya persaksian satu orang adalah untuk kehati-hatian terhadap ibadah puasa, karena lebih dekat kepada bara`atudz dzimmah.
2. Disyaratkan yang bersaksi memiliki sifat Al-‘Adalah, yaitu orang yang adil agamanya. Dan sifat Al-‘Adalah di sini maksudnya ‘Adalah Hissiyyah Zhahirah (yang nampak zhahir) bukan ‘Adalah Bathinah (tersembunyi).
3. Disyaratkan yang memberi saksi adalah orang yang merdeka, bukan budak dan laki-laki, bukan perempuan.


# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا صمنا بعدل ولم نر الهلال بعد ثلاثين أفطرنا في الأصح وإن كانت السماء مصحية.
“Dan jika kita berpuasa dengan persaksian satu orang dan kita tidak melihat hilal setelah tiga puluh hari maka kita berbuka menurut pendapat yang lebih shahih, meskipun langit dalam keadaan cerah”.

@ Penjelasan:
Masalah: Awal Ramadhan dan awal Syawwal berdasarkan hilal yang terlihat. Jika ternyata hilal tidak terlihat padahal langit dalam keadaan cerah dan tidak ada menghalanginya sedangkan sudah genap 30 hari maka besoknya dihukumi hari berbuka/hari raya, karena bulan hijri maksimalnya 30 hari sehingga serupa dengan penetapan awal Syawwal dengan dua orang saksi.
Menurut pendapat lain dalam madzhab, tidak boleh berbuka karena hal itu berarti menetapkan awal Syawwal hanya berdasarkan persaksian satu orang dan hukumnya tidak boleh.

Masalah lain: Jika kita memulai puasa dengan persaksian satu orang yang adil kemudian orang tersebut rujuk dari persaksiannya (menarik persaksiannya) pada pertengahan hari pertama puasa.
Menurut pendapat pertama dalam madzhab: Puasa menjadi tidak lazim (harus diteruskan) seperti halnya jika saksi menarik ucapannya sebelum adanya keputusan hukum.
Pendapat kedua: Tetap harus puasa, karena keputusan hukum dengan persaksiannya sudah berjalan/berlangsung sehingga tidak dibatalkan. Menurut Imam Al-Adzra’i, pendapat kedua yang lebih mendekati kebenaran, sebagaimana yang disebutkan dalam Mughnil Muhtaj.


# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا رؤى ببلد لزم حكمه البلد القريب دون البعيد في الأصح ومسافة البعيد مسافة القصر وقيل: باختلاف المطالع. قلت: هذا أصح والله أعلم.
“Jika terlihat hilal di suatu negeri maka hukumnya juga berlaku untuk negeri yang dekat dengannya, tidak untuk negeri yang jauh. Jarak negeri jauh ukurannya jarak diperbolehkannya men-qashar shalat. Menurut pendapat yang lain, berdasarkan perbedaan mathli’/mathla’ hilal. Menurutku, ini yang lebih shahih, wallahu a’lam”.

@ Penjelasan:
Masalah pertama: Jika di suatu negeri terlihat hilal maka apakah hal tersebut juga berlaku untuk negeri yang lain?
Pendapat pertama: Hal tersebut berlaku untuk negeri yang dekat saja. Inilah pendapat yang lebih shahih menurut Imam An-Nawawi.
Dicontohkan negeri yang berdekatan seperti Baghdad dan Kufah, Damaskus dan Aleppo. Alasannya karena daerah-daerah ini dianggap seperti satu negeri.
Pendapat kedua dalam madzhab: Berlaku juga untuk negeri jauh.
Dicontohkan negeri yang berjauhan seperti Hijaz dan ‘Iraq, Kairo dan Damaskus; karena masing daerah/kota tersebut tidak dianggap satu negeri. Inti dari pendapat kedua ini, selama satu mathli’/mathla’ sekalipun negeri-negeri tersebut berjauhan maka tetap berlaku hilalnya.

Masalah kedua: Batasan jarak jauh dan dekatnya suatu negeri:
Pendapat pertama: Berdasarkan jarak diperbolehkan qashar shalat bagi musafir.
Pendapat kedua: Berdasarkan perbedaan mathla’ (muncul/terbit) hilal. Dan inilah yang lebih shahih menurut An-Nawawi, karena urusan hilal tidak ada keterkaitan dengan jarak qashar. Dalilnya:
Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan:
عن كريب، أن أم الفضل بنت الحارث، بعثته إلى معاوية بالشام، قال: فقدمت الشام، فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيته؟ فقلت: نعم، ورآه الناس، وصاموا وصام معاوية، فقال: " لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين، أو نراه، فقلت: أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ".
Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl mengutusnya mendatangi Mu’awiyah di Syam, dia bercerita: Aku pun tiba di Syam dan menunaikan hajatnya Ummul Fadhl. Bulan Ramadhan tiba di saat aku masih di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku mendatangi Madianah di akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku tentang kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab: Kami melihatnya malam Jum’at. Beliau bertanya: Kamu melihatnya? Aku menjawab: Ya dan orang-orang juga melihatnya, mereka puasa dan Mu’awiyah puasa. Lalu beliau berkata: Akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, dan seterusnya kami berpuasa hingga menggenapkan menjadi tiga puluh hari atau kami melihat hilal. Akupun bertanya: Tidakkah kamu mencukupkan dengan ru`yah dan puasa Mu’awiyah? Beliau menjawab: Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan kami.

Catatan:
- Dalam masalah Ittihad dan Ikhtilaf Mathali’, secara garis besar ada dua pendapat Ulama Ahli Fikih:
Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa setiap negeri punya mathla’ tersendiri. Dalilnya adalah Hadits Kuraib di atas.
Kedua: Pendapat yang menetapkan ittihadul mathali’. Dalilnya keumuman khithab melihat hilal untuk seluruh kaum muslimin, sehingga jika di suatu negeri hilal sudah terlihat maka hal tersebut juga berlaku untuk seluruh negeri tanpa melihat jauh atau dekatnya. Adapun Hadits Kuraib di atas maka tidak bertentangan, karena Hadits Kuraib dibawa kepada makna bahwa berita terlihatnya hilal di Syam tidak sampai ke Hijaz, sehingga dalam kondisi seperti ini masing-masing negeri berpatokan pada hilal yang dilihatnya.
- Pendapat Ittihadul Mathali’ adalah pendapat yang cukup kuat, hal ini mungkin dipraktekkan di masa sekarang jika kaum muslimin dari berbagai Negara bisa bersepakat untuk memutuskan hal tersebut atau jika seluruh kaum muslimin di belahan dunia di bawah pemerintahan Islam yang satu (Khilafah Islamiyyah). Namun mengingat dua hal tersebut tidak terwujud, maka afdhalnya berpegang pada Hadits Kuraib.
- Penentuan masalah ittihad dan ikhtilaf mathali’ mungkin berpatokan dengan penjelasan ilmu astronomi, karena tidak ada nash yang menentang hal tersebut.


# Imam An-Nawawi berkata:
وإذا لم نوجب على البلد الآخر فسافر إليه من بلد الرؤية فالأصح أنه يوافقهم في الصوم آخرا ومن سافر من البلد الآخر إلى بلد الرؤية عيد معهم وقضى يوما ومن أصبح معيدا فسارت سفينته إلى بلدة بعيدة أهلها صيام فالأصح أنه يمسك بقية اليوم.
“Dan jika tidak kita wajibkan (hilal yang terlihat pada suatu negeri) pada negeri yang lain lalu salah seorang dari negeri tersebut bersafar ke negeri yang tidak terlihat hilal, maka menurut pendapat yang lebih shahih, dia mengikuti puasa penduduk negeri tersebut di akhirnya. Siapa yang bersafar menuju negeri yang hilalnya terlihat maka dia berhari raya bersama penduduk negeri tersebut dan mengqadha` satu hari puasa. Dan jika seseorang (di negerinya) telah berhari raya lalu dia berjalan dengan kapalnya menuju negeri jauh yang penduduknya masih puasa maka menurut pendapat yang lebih shahih, dia  menahan diri pada sisa hari tersebut”.

@ Penjelasan:
Masalah pertama: Jika seseorang tinggal di suatu negeri atau daerah yang hilalnya terlihat  kemudian dia bersafar menuju negeri yang di sana hilalnya tidak terlihat, apa yang harus dia lakukan?
Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab, dia harus mengikuti akhir puasa penduduk negeri tersebut, bahkan sekalipun dia sudah berpuasa selama 30 hari. Ta’lilnya (alasannya) karena dengan berpindah ke negeri tersebut dia menjadi salah satu penduduknya sehingga hukum penduduknya menjadi belaku untuk dirinya.
Pendapat kedua dalam madzhab menyatakan bahwa jika dia sudah berpuasa 30 hari maka dia harus berbuka. Alasannya karena hukum yang berlaku untuknya adalah hukum negeri pertama yang di sana terlihat hilal, tempat dia memulai puasa; sehingga hukum tersebut terus berlanjut walaupun dia sudah pergi darinya.

Masalah kedua: Jika seseorang bersafar dari negeri yang tidak terlihat hilalnya menuju negeri yang hilalnya terlihat maka dia berbuka (hari raya) bersama penduduk negeri tersebut. Meskipun dia berpuasa hanya 28 hari saja misalnya karena penduduk negeri yang terlihat hilalnya tersebut berpuasa 29 hari. Dalam kondisi ini, berarti dia harus mengqadha` satu hari di lain waktu sebab satu bulan Ramadhan itu minimalnya 29 hari dan maksimalnya 30 hari. Adapun jika puasanya menjadi 29 hari karena penduduk tersebut berpuasa genap 30 hari maka dia tidak perlu mengqadha` satu hari puasa.

Masalah ketiga: Jika seseorang berada di suatu negeri dalam keadaan berhari raya lalu dia bersafar menuju negeri lain yang jauh dan penduduknya masih berpuasa.
Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab, wajib atasnya menahan diri di waktu yang tersisa dari hari tersebut dalam rangka mengikuti hukum penduduk negeri tersebut.
Pendapat kedua dalam madzhab mengatakan bahwa dia tidak wajib menahan diri pada saat tersebut.
Contoh permasalahan ini: Seseorang tinggal di negeri yang puasanya 29 hari karena hilal Syawwal terlihat lalu saat tiba hari raya di negerinya tersebut dia bersafar menuju negeri yang di sana tidak terlihat hilal Syawwal sehingga penduduknya menggenapkan puasa menjadi 30 hari.
Ta’lil pendapat pertama: Seperti yaumusy syakk, jika pada pertengahan harinya ternyata hilal terbukti sah telah terlihat dengan adanya persaksian maka pada kondisi ini wajib menahan diri di waktu yang masih tersisa dari hari tersebut. Ini pendapat Imam Ar-Rafi’i.
Ta’lil pendapat kedua: Seperti orang kafir yng masuk Islam, orang gila yang kembali sadar dan anak yang baligh di pertengahan hari pada bulan puasa tidak wajib bagi mereka menahan diri di waktu tersisa dari hari tersebut menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab. Ini pendapat Imam As-Subki.

FAIDAH:
Abu Dawud dalam Sunan-nya meriwayatkan:
عن قتادة، أنه بلغه: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا رأى الهلال قال: "هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، هلالُ خَيرٍ ورُشدٍ، آمنتُ بالذي خلقَكَ" ثلاث مرات، ثم يقول: "الحمدُ للهِ الذي ذهبَ بشهرِ كذا، وجاءَ بشهرِ كذا".
Dari Qatadah, telah sampai kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam jika melihat hilal maka beliau mengucapkan: “Hilal kebaikan dan kelurusan, hilal kebaikan dan kelurusan, hilal kebaikan dan kelurusan”, “Aku beriman terhadap Yang telah menciptakanmu”, sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah membawa pergi bulan demikian dan membawa datang bulan demikian”.
Perawi sanad hadits ini semuanya tsiqah, hanya saja mursal karena Qatadah tidak menyebutkan perawi Shahabi yang meriwayatkannya dari Rasulullah. Hadits ini dihukumi hasan lighairihi dengan adanya Syawahid oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
Dalam beberapa redaksi, seperti yang diriwayatkan Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam terlebih dahulu ber-Takbir sebanyak tiga kali sebelum mengucapkan hal di atas.
Ibnu Hibban dan juga Ad-Darimi meriwayatkan:
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam jika melihat hilal beliau mengucapkan: “Ya Allah, munculkanlah hilal kepada kami dengan rasa aman dan keimanan, keselamatan dan penyerahan, serta taufik terhadap apa yang Engkau cintai dan ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Allah”.
Dalam sanad Hadits ini ada kelemahan, dan dihukumi shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.

Wallahu a’lamu bish shawab.