Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
))فضل العلم أحب
إليَّ من فضل العبادة وخير دينكم الورع((
“Keutamaan ilmu lebih aku cintai dari pada
keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’.”
Hadits
ini diriwayatkan Imam Al-Hakim dari Sa’ad bin Abi Waqqash, di-shahihkan oleh
beliau berdasarkan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi. Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Al-Ausath dari Hudzaifah
bin Al-Yaman dengan lafazh:
))فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع((
“Keutamaan ilmu lebih baik dari pada keutamaan
ibadah dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’[1].”
Dan
hadits ini di-shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’.[2]
Al-Mawardi
menjelaskan:
))قال رسول الله : «
فضل العلم خير من فضل العبادة », وإنما كان
كذلك, لأن العلم يبعث على فضل العبادة, والعبادة مع خُلو فاعلها من العلم بها قد
لا تكون عبادة((.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda bahwa keutamaan ilmu lebih baik dari pada
keutamaan ibadah, itu dikarenakan ilmu dapat mendorong kepada keutamaan ibadah,
dan ibadah disertai dengan kekosongan ilmu pelakunya terhadap ibadah tersebut
bisa jadi tidak menjadi sebuah ibadah.”[3]
))عن أبي بكر بن
أبي موسى أن أباه أتى عمرَ بعد العشاء الآخرة، فقال: ما جاء بك يا أبا موسى
الساعةَ ؟ قال: نتذاكر الفقه، قال: فجلسنا ليلا طويلا نتذاكر، قال أبو موسى:
الصلاة، فقال عمر: إنا في صلاة، قال: فتذاكرا حتى كان قريبا من الفجر((
Dari
Abu Bakr bin Abu Musa Al-Asy’ari, beliau menuturkan bahwa ayahnya pernah
mendatangi ‘Umar setelah shalat ‘isya`, maka ‘Umarpun bertanya: “Apa yang
membuatmu datang pada waktu ini, wahai Abu Musa?” Beliau menjawab: “(Agar) kita
melakukan muzdakarah fikih”, lalu kamipun duduk dengan lama di malam hari untuk
mudzakarah. Hingga Abu Musa berkata: “Shalat malam”, maka ‘Umar berkata: “Sesungguhnya
kita sedang dalam shalat”, maka mereka berdua terus melakukan mudzakarah hingga
menjelang waktu fajar.[4]
Yahya
bin Abi Katsir berkata:
))تعليم الفقه
صلاةٌ، ودراسة القرآن صلاة((
“Mengajarkan
fikih adalah shalat dan mempelajari Al-Qur`an itu adalah shalat.”[5]
Abu
Hurairah dan Abu Dzarr berkata:
))باب من العلم
نتعلمه أحب إلينا من ألف ركعة تطوعا، وباب من العلم نُعَلِّمه عُمل به أو لم يعمل
أحب إلينا من مائة ركعة تطوعا((
“Satu
bab dari ilmu yang kita pelajari lebih kami cintai dari pada seribu rakaat
shalat tathawwu’ dan satu bab dari ilmu yang kita ajarkan baik diamalkan atau
tidak diamalkan, lebih kami cintai dari pada seratus rakaat shalat tathawwu’.”[6]
Al-Ghazali
menyebutkan bahwa:
))قال ابن عباس رضي الله عنهما: تذاكر العلم بعض ليلة أحب
إليَّ من إحيائها, وكذلك عن أبي هريرة وأحمد بن
حنبل رحمه الله((
“Ibnu
‘Abbas berkata: ‘Mudzakarah ilmu (mengingat dan mengulang pelajaran) di sebagian
malam lebih aku cintai dari pada menghidupkan seluruh malam’. Demikian juga (pernyataan
ini) diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ahmad bin Hambal.”[7]
))قال معمر:
بلَغنا عن أبي الدرداء قال: مذاكرة للعلم ساعةً، خير من قيام ليلة((
Mu’ammar
berkata bahwa telah sampai kepada kami dari Abu Darda`, beliau berkata: “Muzdakarah
terhadap ilmu satu jam sebih baik dari
shalat semalam.”[8]
Ibnu
‘Umar berkata:
))مجلس فقه خير من عبادة ستين سنة((
“Majlis
fikih lebih baik dari shalat enam puluh tahun.”[9]
))قال رجل لأبي
مِجْلَز وهم يتذاكرون الفقه والسنة: لو قرأت علينا سورة من القرآن, فقال: ما أنا
بالذي أزعم أن قراءة القرآن أفضلُ مما نحن فيه((
Seorang
laki-laki berkata kepada Abu Mijlaz di saat mereka sedang mudzakarah fikih dan
sunnah: “Kalau saja anda membacakan kepada kami satu surah Al-Qur`an”. Maka Abu
Mijlaz pun berkata: “Aku bukanlah orang yang beranggapan bahwa membaca
Al-Qur`an lebih utama dari apa yang sedang kita lakukan ini.”[10]
Wahb
bin Munabbih berkata:
))مجلس يُتَنازع
فيه العلمُ أحبُّ إليَّ من قدره صلاةً, لعل أحدهم يسمع الكلمة فينتفع بها سنة أو
ما بقي من عمره((
“Majlis
yang di dalamnya didiskusikan ilmu lebih aku cintai ketimbang shalat seukuran (waktu)
majlis tersebut, barangkali salah seorang di antara mereka mendengar suatu
kalimat dan mengambil manfaat darinya selama setahun atau sepanjang umurnya yang
tersisa.”[11]
Al-Khathib
Al-Baghdadi dalam kitab Syaraf Ash-habil Hadits meriwayatkan dari Al-Mughirah bahwa
beliau berkata:
))ما طلب أحد هذا الحديثَ إلا قَلَّت صلاته((
“Tidaklah
seseorang mencari Hadits ini kecuali sedikit shalatnya.”
Al-Khathib
berkata menjelaskan pernyataan di atas:
))خرج هذا الكلام من مغيرةَ على حال نفسه, ولعله كان
يكثر صلاة النوافل، فإذا سعى في طلب الحديث إلى المواضع البعيدة، كان ذلك قاطعا له
عن بعض نوافله, فقال هذا القول, ولو أمعن مغيرةُ النظرَ لَعَلِم أن سعيه في طلب
الحديث أفضلُ من صلاته((
“Pernyataan
ini dikeluarkan oleh Mughirah berdasarkan keadaan dirinya. Mungkin saja beliau
dulunya sangat sering melakukan shalat nafilah, tapi tatkala beliau terjun
dalam pencarian Hadits ke tempat-tempat yang jauh, itu menjadi penghalang
beliau untuk melakukan sebagian shalat nafilah, sehingga beliau mengucapkan
perkataan ini. Kalau saja Mughirah memperhatikan dengan baik niscaya beliau
tahu bahwa usahanya mencari Hadits lebih utama dari shalatnya.” [12]
))قال نعيم بن حماد: سمعت ابن المبارك
يقول: ما رأيت أحدا ارتفع مثل مالك، ليس له كثير صلاة ولا صيام، إلا أن تكون له
سريرة. قال الحافظ الذهبي: ما كان عليه من العلم ونشرِه أفضلُ من نوافل الصوم
والصلاة لمن أراد به الله((
Nu’aim
bin Hammad berkata: Aku mendengar Ibnul Mubarak berkata: “Aku tidak pernah
melihat seorangpun lebih tingggi semisal Malik, beliau tidak memiliki shalat
dan puasa (sunnah) yang banyak, akan tetapi beliau memiliki rahasia yang
tersembunyi”. Al-Hafizh Adz-Dzahabi menjelaskan: “Apa yang beliau miliki dari
ilmu dan penyebarannya lebih utama dari shalat dan puasa sunnah bagi orang yang
Allah kehendaki”.[13]
Imam
Malik telah berkata:
))المذاكرة في الفقه أفضل من الصلاة((
“Mudzkarah
seputar fikih lebih utama dari shalat.”[14]
))قال الزركشي: قال الربيع: سمعت الشافعي رحمه الله
تعالى يقول: طلب العلم أفضل من صلاة النافلة, قال الرافعي في شرح المسند: كأن
المراد طلب علم الآثار ليؤخذ بها وتُتبع, وقد اشتهر عن الشافعي رضي الله تعالى
عنه: علمك يتعداك وعملك لا يتعداك((
Az-Zarkasyi
menyebutkan bahwa Ar-Rabi’ berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafi’I mengatakan: “Menuntut
ilmu lebih utama dari shalat nafilah”. Ar-Rafi’I dalam Syar-hul Musnad
menjelaskan: “Sepertinya maksudnya adalah menuntut ilmu atsar untuk dipegang
teguh dan diikuti, dan telah masyhur dari Imam Asy-Syafi’I beliau berkata: ’Ilmumu (manfaatnya) melampauimu sedangkan amalanmu
tidak akan melampauimu’.”[15]
))قال إبراهيم بن
هانئ: قلت لأحمد بن حنبل: أي شيء أحب إليك، أجلس بالليل أنسخ، أو أصلي تطوعا ؟
قال: إذا كنت تنسخ، فأنت تعلم به أمر دينك، فهو أحب إلي((
Ibrahim
bin Hani` berkata: Aku bertanya kepada Ahmad bin Hambal: “Mana yang lebih anda
sukai, aku duduk di malam hari untuk menyalin atau aku shalat sunnah?” Beliau
menjawab: “Jika engkau menyalin/menulis maka engkau akan mengetahui perkara
agamamu melaluinya, dan itu lebih aku sukai.”[16]
))قال البخاري: سمعت عبد الله بن أحمد بن حنبل قال: نزل أبو
زرعة عندنا فقال لي أبي: يا بني قد اعتضت عن نوافلي بمذاكرة هذا الشيخ((
Al-Bukhari
berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Abu Zur’ah
singgah di tempat kami maka ayahku berkata kepadaku: ‘Wahai anakku, aku telah
mengganti ibadah-ibadah nafilahku dengan ber-mudzakarah bersama syaikh ini’.”[17]
An-Nawawi
dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab membuat suatu pasal:
))فصل في ترجيح الاشتغال بالعلم على الصلاة والصيام وغيرهما
من العبادات القاصرة على فاعلها((
“Pasal
tentang menyibukkan diri dengan ilmu lebih dikuatkan (didahulukan) atas shalat,
puasa dan selainnya dari ibadah-ibadah yang terbatas (manfaatnya) pada
pelaksananya”
Beliau
berkata di akhir pasal tersebut:
))فهذه أحرف من أطراف ما جاء في ترجيح الاشتغال بالعلم على
العبادة, وجاء عن جماعات من السلف ممن لم أذكره نحوُ ما ذكرته, والحاصل أنهم
متفقون على أن الاشتغال بالعلم أفضلُ من الاشتغال بنوافل الصوم والصلاة والتسبيح
ونحو ذلك من نوافل عبادات البدن, ومن دلائله سوى ما سبق أن نفع العلم يعم صاحبَه
والمسلمين, والنوافل المذكورة مختصة به, ولأن العلم مصحح, فغيره من العبادات مفتقر
إليه ولا ينعكس, ولأن العلماء ورثة الأنبياء, ولا يوصف المتعبدون بذلك, ولأن
العابد تابع للعالم مقتد به مقلدٌ له في عبادته وغيرها واجب عليه طاعتُه ولا
ينعكس, ولأن العلم تبقى فائدتُه وأثره بعد صاحبه والنوافل تنقطع بموت صاحبها, ولأن
العلم صفة لله تعالى, ولأن العلم فرض كفاية, أعني العلم الذي كلامنا فيه, فكان
أفضلَ من النافلة, وقد قال إمام الحرمين رحمه الله في كتابه الغياثي: فرض الكفاية
أفضل من فرض العين من حيث أن فاعله يسد مسد الأمة ويُسقط الحرج عن الأمة وفرض
العين قاصر عليه وبالله التوفيق((
“Inilah
penjelasan seputar penegasan bahwa menyibukkan diri dengan ilmu lebih utama dari
ibadah. Telah datang semisal itu dari banyak para Salaf yang belum aku sebutkan.
Yang hasilnya bahwa mereka bersepakat bahwa menyibukkan diri dengan ilmu lebih
utama dari pada menyibukkan diri dengan puasa, shalat, tasbih dan semacamnya
dari ibadah-ibadah nafilah yang dilakukan anggota badan. Di antara sekian bukti
hal ini selain apa yang telah berlalu adalah:
>>Manfaat
ilmu mencakup pemiliknya dan kaum muslimin sedangkan ibadah nafilah yang
disebutkan hanya khusus untuk pelaksananya.
>>Karena
ilmu itu pengkoreksi amalan maka ibadah selain ilmu sangat membutuhkannya dan
tidak sebaliknya.
>>Karena
Ulama adalah pewaris para Nabi sedangkan Ahli Ibadah tidak disifati dengan hal
tersebut.
>>Karena
Ahli Ibadah mengikuti Ahli Ilmu, meneladaninya dan mencontohnya dalam ibadah
dan selain ibadah, wajib mentaatinya dan tidak sebaliknya.
>>Karena
faidah ilmu dan dampaknya terus tetap ada setelah kematian pemiliknya,
sedangkan ibadah nafilah terputus manfaatnya dengan kematian pelaksananya.
>>Karena
ilmu itu adalah salah satu sifat Allah Ta’ala.
>>Karena
ilmu hukumnya fardhu kifayah -maksudnya ilmu yang sedang kita bicarakan-,
sehingga lebih utama dibandingkan nafilah. Imam Al-Haramain dalam kitabnya
Al-Ghiyatsi menjelaskan: Fardhu Kifayah lebih utama dari Fardhu ‘Ain dari sisi
bahwa pelakunya telah menutup (beban) umat serta menggugurkan tanggungan umat, sedangkan
Fardhu ‘Ain hanya sebatas menggugurkan beban dan tanggungan dirinya sendiri.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq.” [18]
Diterjemahkan
dari kitab “Al-Madkhal ilaa Thalabil ‘Ilmi”, karya Syaikh Zahran Kadah dengan
perubahan dan penambahan.
[1]
Wara’ adalah menjauhi syubhat karena khawatir terjatuh ke dalam yang
diharamkan. Menurut sebagian Ulama, wara’ adalah meninggalkan perkara yang
tidak terlarang karena takut melakukan yang terlarang. Ibnul Qayyim menjelaskan
bahwa Wara’ adalah meninggalkan apa yang dikhawatirkan madharatnya di akhirat
sedangkan zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat. (pent.)
[2]
Imam Al-Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal ilas Sunanil Kubra berkata terkait
hadits Hudzaifah:
Hal yang sama juga dikatakan Imam Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal terkait hadits Sa’ad:
))هذا الحديث يروى
مرفوعا بأسانيد ضعيفة ، وهو صحيح من قول مطرف بن عبد الله بن الشخير((
“Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ dengan
sanad-sanad yang dha’if, dan yang shahih ini merupakan perkataan Mutharrif bin ‘Abdullah
bin Asy-Sikhkhir.”Hal yang sama juga dikatakan Imam Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal terkait hadits Sa’ad:
))وليس يثبت من هذه
الأسانيد شيء , وإنما يروى هذا عن مطرف بن عبد الله بن الشخير من قوله((
"Dan tidak ada satu pun dari sanad-sanad ini yang shahih, ini hanyalah perkataan yang diriwayatkan dari Mutharrif bin 'Abdullah bin Asy-Syikhkhir."
Wallahu ta'ala a'lam. (pent.)