Jumat, 20 Februari 2015

Menuntut Ilmu Lebih Utama Dari Pada Ibadah Nafilah



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
))فضل العلم أحب إليَّ من فضل العبادة وخير دينكم الورع((
 “Keutamaan ilmu lebih aku cintai dari pada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’.”
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Hakim dari Sa’ad bin Abi Waqqash, di-shahihkan oleh beliau berdasarkan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Al-Ausath dari Hudzaifah bin Al-Yaman dengan lafazh:
))فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع((
 “Keutamaan ilmu lebih baik dari pada keutamaan ibadah dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’[1].”
Dan hadits ini di-shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’.[2]

Al-Mawardi menjelaskan:
))قال رسول الله : « فضل العلم خير من فضل العبادة », وإنما كان كذلك, لأن العلم يبعث على فضل العبادة, والعبادة مع خُلو فاعلها من العلم بها قد لا تكون عبادة((.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda bahwa keutamaan ilmu lebih baik dari pada keutamaan ibadah, itu dikarenakan ilmu dapat mendorong kepada keutamaan ibadah, dan ibadah disertai dengan kekosongan ilmu pelakunya terhadap ibadah tersebut bisa jadi tidak menjadi sebuah ibadah.”[3]

))عن أبي بكر بن أبي موسى أن أباه أتى عمرَ بعد العشاء الآخرة، فقال: ما جاء بك يا أبا موسى الساعةَ ؟ قال: نتذاكر الفقه، قال: فجلسنا ليلا طويلا نتذاكر، قال أبو موسى: الصلاة، فقال عمر: إنا في صلاة، قال: فتذاكرا حتى كان قريبا من الفجر((
Dari Abu Bakr bin Abu Musa Al-Asy’ari, beliau menuturkan bahwa ayahnya pernah mendatangi ‘Umar setelah shalat ‘isya`, maka ‘Umarpun bertanya: “Apa yang membuatmu datang pada waktu ini, wahai Abu Musa?” Beliau menjawab: “(Agar) kita melakukan muzdakarah fikih”, lalu kamipun duduk dengan lama di malam hari untuk mudzakarah. Hingga Abu Musa berkata: “Shalat malam”, maka ‘Umar berkata: “Sesungguhnya kita sedang dalam shalat”, maka mereka berdua terus melakukan mudzakarah hingga menjelang waktu fajar.[4]

Yahya bin Abi Katsir berkata:
))تعليم الفقه صلاةٌ، ودراسة القرآن صلاة((
“Mengajarkan fikih adalah shalat dan mempelajari Al-Qur`an itu adalah shalat.”[5]

Abu Hurairah dan Abu Dzarr berkata:
))باب من العلم نتعلمه أحب إلينا من ألف ركعة تطوعا، وباب من العلم نُعَلِّمه عُمل به أو لم يعمل أحب إلينا من مائة ركعة تطوعا((
“Satu bab dari ilmu yang kita pelajari lebih kami cintai dari pada seribu rakaat shalat tathawwu’ dan satu bab dari ilmu yang kita ajarkan baik diamalkan atau tidak diamalkan, lebih kami cintai dari pada seratus rakaat shalat tathawwu’.”[6]

Al-Ghazali menyebutkan bahwa:
))قال ابن عباس رضي الله عنهما: تذاكر العلم بعض ليلة أحب إليَّ من إحيائها, وكذلك عن أبي هريرة وأحمد بن حنبل رحمه الله((
“Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Mudzakarah ilmu (mengingat dan mengulang pelajaran) di sebagian malam lebih aku cintai dari pada menghidupkan seluruh malam’. Demikian juga (pernyataan ini) diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ahmad bin Hambal.”[7]

))قال معمر: بلَغنا عن أبي الدرداء قال: مذاكرة للعلم ساعةً، خير من قيام ليلة((
Mu’ammar berkata bahwa telah sampai kepada kami dari Abu Darda`, beliau berkata: “Muzdakarah terhadap ilmu  satu jam sebih baik dari shalat semalam.”[8]

Ibnu ‘Umar berkata:
))مجلس فقه خير من عبادة ستين سنة((
“Majlis fikih lebih baik dari shalat enam puluh tahun.”[9]

))قال رجل لأبي مِجْلَز وهم يتذاكرون الفقه والسنة: لو قرأت علينا سورة من القرآن, فقال: ما أنا بالذي أزعم أن قراءة القرآن أفضلُ مما نحن فيه((
Seorang laki-laki berkata kepada Abu Mijlaz di saat mereka sedang mudzakarah fikih dan sunnah: “Kalau saja anda membacakan kepada kami satu surah Al-Qur`an”. Maka Abu Mijlaz pun berkata: “Aku bukanlah orang yang beranggapan bahwa membaca Al-Qur`an lebih utama dari apa yang sedang kita lakukan ini.”[10]

Wahb bin Munabbih  berkata:
))مجلس يُتَنازع فيه العلمُ أحبُّ إليَّ من قدره صلاةً, لعل أحدهم يسمع الكلمة فينتفع بها سنة أو ما بقي من عمره((
“Majlis yang di dalamnya didiskusikan ilmu lebih aku cintai ketimbang shalat seukuran (waktu) majlis tersebut, barangkali salah seorang di antara mereka mendengar suatu kalimat dan mengambil manfaat darinya selama setahun atau sepanjang umurnya yang tersisa.”[11]

Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitab Syaraf Ash-habil Hadits meriwayatkan dari Al-Mughirah bahwa beliau berkata:
))ما طلب أحد هذا الحديثَ إلا قَلَّت صلاته((
“Tidaklah seseorang mencari Hadits ini kecuali sedikit shalatnya.”
Al-Khathib berkata menjelaskan pernyataan di atas:
))خرج هذا الكلام من مغيرةَ على حال نفسه, ولعله كان يكثر صلاة النوافل، فإذا سعى في طلب الحديث إلى المواضع البعيدة، كان ذلك قاطعا له عن بعض نوافله, فقال هذا القول, ولو أمعن مغيرةُ النظرَ لَعَلِم أن سعيه في طلب الحديث أفضلُ من صلاته((
“Pernyataan ini dikeluarkan oleh Mughirah berdasarkan keadaan dirinya. Mungkin saja beliau dulunya sangat sering melakukan shalat nafilah, tapi tatkala beliau terjun dalam pencarian Hadits ke tempat-tempat yang jauh, itu menjadi penghalang beliau untuk melakukan sebagian shalat nafilah, sehingga beliau mengucapkan perkataan ini. Kalau saja Mughirah memperhatikan dengan baik niscaya beliau tahu bahwa usahanya mencari Hadits lebih utama dari shalatnya.” [12]

))قال نعيم بن حماد: سمعت ابن المبارك يقول: ما رأيت أحدا ارتفع مثل مالك، ليس له كثير صلاة ولا صيام، إلا أن تكون له سريرة. قال الحافظ الذهبي: ما كان عليه من العلم ونشرِه أفضلُ من نوافل الصوم والصلاة لمن أراد به الله((

Nu’aim bin Hammad berkata: Aku mendengar Ibnul Mubarak berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih tingggi semisal Malik, beliau tidak memiliki shalat dan puasa (sunnah) yang banyak, akan tetapi beliau memiliki rahasia yang tersembunyi”. Al-Hafizh Adz-Dzahabi menjelaskan: “Apa yang beliau miliki dari ilmu dan penyebarannya lebih utama dari shalat dan puasa sunnah bagi orang yang Allah kehendaki”.[13]

Imam Malik telah berkata:
))المذاكرة في الفقه أفضل من الصلاة((
“Mudzkarah seputar fikih lebih utama dari shalat.”[14]

))قال الزركشي: قال الربيع: سمعت الشافعي رحمه الله تعالى يقول: طلب العلم أفضل من صلاة النافلة, قال الرافعي في شرح المسند: كأن المراد طلب علم الآثار ليؤخذ بها وتُتبع, وقد اشتهر عن الشافعي رضي الله تعالى عنه: علمك يتعداك وعملك لا يتعداك((
Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa Ar-Rabi’ berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafi’I mengatakan: “Menuntut ilmu lebih utama dari shalat nafilah”. Ar-Rafi’I dalam Syar-hul Musnad menjelaskan: “Sepertinya maksudnya adalah menuntut ilmu atsar untuk dipegang teguh dan diikuti, dan telah masyhur dari Imam Asy-Syafi’I beliau berkata: ’Ilmumu  (manfaatnya) melampauimu sedangkan amalanmu tidak akan melampauimu’.”[15]

))قال إبراهيم بن هانئ: قلت لأحمد بن حنبل: أي شيء أحب إليك، أجلس بالليل أنسخ، أو أصلي تطوعا ؟ قال: إذا كنت تنسخ، فأنت تعلم به أمر دينك، فهو أحب إلي((
Ibrahim bin Hani` berkata: Aku bertanya kepada Ahmad bin Hambal: “Mana yang lebih anda sukai, aku duduk di malam hari untuk menyalin atau aku shalat sunnah?” Beliau menjawab: “Jika engkau menyalin/menulis maka engkau akan mengetahui perkara agamamu melaluinya, dan itu lebih aku sukai.”[16]

))قال البخاري: سمعت عبد الله بن أحمد بن حنبل قال: نزل أبو زرعة عندنا فقال لي أبي: يا بني قد اعتضت عن نوافلي بمذاكرة هذا الشيخ((
Al-Bukhari berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Abu Zur’ah singgah di tempat kami maka ayahku berkata kepadaku: ‘Wahai anakku, aku telah mengganti ibadah-ibadah nafilahku dengan ber-mudzakarah bersama syaikh ini’.”[17]

An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab membuat suatu pasal:
))فصل في ترجيح الاشتغال بالعلم على الصلاة والصيام وغيرهما من العبادات القاصرة على فاعلها((
“Pasal tentang menyibukkan diri dengan ilmu lebih dikuatkan (didahulukan) atas shalat, puasa dan selainnya dari ibadah-ibadah yang terbatas (manfaatnya) pada pelaksananya”
Beliau berkata di akhir pasal tersebut:
))فهذه أحرف من أطراف ما جاء في ترجيح الاشتغال بالعلم على العبادة, وجاء عن جماعات من السلف ممن لم أذكره نحوُ ما ذكرته, والحاصل أنهم متفقون على أن الاشتغال بالعلم أفضلُ من الاشتغال بنوافل الصوم والصلاة والتسبيح ونحو ذلك من نوافل عبادات البدن, ومن دلائله سوى ما سبق أن نفع العلم يعم صاحبَه والمسلمين, والنوافل المذكورة مختصة به, ولأن العلم مصحح, فغيره من العبادات مفتقر إليه ولا ينعكس, ولأن العلماء ورثة الأنبياء, ولا يوصف المتعبدون بذلك, ولأن العابد تابع للعالم مقتد به مقلدٌ له في عبادته وغيرها واجب عليه طاعتُه ولا ينعكس, ولأن العلم تبقى فائدتُه وأثره بعد صاحبه والنوافل تنقطع بموت صاحبها, ولأن العلم صفة لله تعالى, ولأن العلم فرض كفاية, أعني العلم الذي كلامنا فيه, فكان أفضلَ من النافلة, وقد قال إمام الحرمين رحمه الله في كتابه الغياثي: فرض الكفاية أفضل من فرض العين من حيث أن فاعله يسد مسد الأمة ويُسقط الحرج عن الأمة وفرض العين قاصر عليه وبالله التوفيق((
“Inilah penjelasan seputar penegasan bahwa menyibukkan diri dengan ilmu lebih utama dari ibadah. Telah datang semisal itu dari banyak para Salaf yang belum aku sebutkan. Yang hasilnya bahwa mereka bersepakat bahwa menyibukkan diri dengan ilmu lebih utama dari pada menyibukkan diri dengan puasa, shalat, tasbih dan semacamnya dari ibadah-ibadah nafilah yang dilakukan anggota badan. Di antara sekian bukti hal ini selain apa yang telah berlalu adalah:
>>Manfaat ilmu mencakup pemiliknya dan kaum muslimin sedangkan ibadah nafilah yang disebutkan hanya khusus untuk pelaksananya.
>>Karena ilmu itu pengkoreksi amalan maka ibadah selain ilmu sangat membutuhkannya dan tidak sebaliknya.
>>Karena Ulama adalah pewaris para Nabi sedangkan Ahli Ibadah tidak disifati dengan hal tersebut.
>>Karena Ahli Ibadah mengikuti Ahli Ilmu, meneladaninya dan mencontohnya dalam ibadah dan selain ibadah, wajib mentaatinya dan tidak sebaliknya.
>>Karena faidah ilmu dan dampaknya terus tetap ada setelah kematian pemiliknya, sedangkan ibadah nafilah terputus manfaatnya dengan kematian pelaksananya.
>>Karena ilmu itu adalah salah satu sifat Allah Ta’ala.
>>Karena ilmu hukumnya fardhu kifayah -maksudnya ilmu yang sedang kita bicarakan-, sehingga lebih utama dibandingkan nafilah. Imam Al-Haramain dalam kitabnya Al-Ghiyatsi menjelaskan: Fardhu Kifayah lebih utama dari Fardhu ‘Ain dari sisi bahwa pelakunya telah menutup (beban) umat serta menggugurkan tanggungan umat, sedangkan Fardhu ‘Ain hanya sebatas menggugurkan beban dan tanggungan dirinya sendiri. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq.” [18]


Diterjemahkan dari kitab “Al-Madkhal ilaa Thalabil ‘Ilmi”, karya Syaikh Zahran Kadah dengan perubahan dan penambahan.




[1] Wara’ adalah menjauhi syubhat karena khawatir terjatuh ke dalam yang diharamkan. Menurut sebagian Ulama, wara’ adalah meninggalkan perkara yang tidak terlarang karena takut melakukan yang terlarang. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa Wara’ adalah meninggalkan apa yang dikhawatirkan madharatnya di akhirat sedangkan zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat. (pent.)
[2] Imam Al-Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal ilas Sunanil Kubra berkata terkait hadits Hudzaifah:
))هذا الحديث يروى مرفوعا بأسانيد ضعيفة ، وهو صحيح من قول مطرف بن عبد الله بن الشخير((
“Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ dengan sanad-sanad yang dha’if, dan yang shahih ini merupakan perkataan Mutharrif bin ‘Abdullah bin Asy-Sikhkhir.”
Hal yang sama juga dikatakan Imam Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal terkait hadits Sa’ad:
))وليس يثبت من هذه الأسانيد شيء , وإنما يروى هذا عن مطرف بن عبد الله بن الشخير من قوله((
 "Dan tidak ada satu pun dari sanad-sanad ini yang shahih, ini hanyalah perkataan yang diriwayatkan dari Mutharrif bin 'Abdullah bin Asy-Syikhkhir."
Wallahu ta'ala a'lam. (pent.)



[3] Kitab Adabud Dun-ya wad Din, (hal. 38).
[4] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (2/267).
[5] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (1/103).
[6] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (1/101).
[7] Ihya`u ‘Ulumid Din, (1/80).
[8] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (1/102).
[9] Mughnil Muhtaj, (1/99).
[10] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (1/103).
[11] Diriwayatkan Ad-Darimi dengan sanad hasan.
[12] Syaraf Ash-habil Hadits, (hal.112).
[13] Siyar A’lamin Nubala`, (8/97).
[14] Adz-Dzakhirah, karya Al-Qarafi, (13/347).
[15] An-Nukat ‘ala Ibnish Shalah, (1/20-21).
[16] Al-Faqih wal Mutafaqqih, (1/103).
[17] Tadzkiratul Huffazh, (2/105).
[18] Muqaddimah Kitab Al-Majmu’, (1/21-22).